Rabu, 12 Desember 2012

Biografi Khalil Gibran


KAHLIL GIBRAN merupakan seorang seniman, penyair dan pengarang. Beliau dilahirkan di BESHARI pada 06 Januari 1883, LEBANON. Yg merupakan daerah yg kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil mata GIBRAN sudah terbiasa menangkap fenomena2 alam tsb. Inilah nantinya banyak mempengaruhi tulisan2nya tentang alam. Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, GIBRAN pindah ke BOSTON, AS. GIBRAN kecil mengalami kejutan budaya, seperti yg banyak dialami oleh para imigran lain yg berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke – 19. Keceriaan GIBRAN di bangku sekolah umum di BOSTON, diisi dg masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun proses pengamerikaan GIBRAN hanya berlangsung selama 3 tahun karena setelah itu dia kembali ke BEIRUT, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat ( School of Wisdom ) sejak tahun 1898 – 1901.
Kehidupan masa remaja kahlil gibran
Selama masa awal remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani Kerajaan Turki Uthmaniyyah, sifat munafik organisasi gereja, dan peranan kaum wanita Asia Barat yg sekedar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yg kemudian dituangkan ke dalam karya2nya yg berbahasa Arab. GIBRAN meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di BOSTON dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yg kemudian justru memberikan kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budayanya yg berbeda menjadi satu.
GIBRAN menulis drama pertamanya di PARIS dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya “SPIRITS REBELLIOUS” ditulis di BOSTON dan diterbitkan di NEW YORK, yg berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yg menyerang orang2 korup yg dilihatnya. Akibatnya, GIBRAN menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran2 GIBRAN itu tiba2 dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa2 pembentukan diri selama di PARIS cerai berai ketika GIBRAN menerima kabar dari Konsulat Jenderal Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yg paling muda berumur 15 tahun, SULTANA, meninggal karena TBC.
GIBRAN segera kembali ke BOSTON. Kakaknya, PETER, seorang pekedai yg menjadi tumpuan hidup saudara2 dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yg memuja dan dipujanya, KAMILAH, juga telah meninggal karena tumor ganas. Hanya adiknya, MARIANNA, yg masih hidup, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yg sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. GIBRAN dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yg tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di tahun2 awal mereka berdua, MARIANNA membiayai penerbitan karya2 GIBRAN dengan biaya yg diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s Growns. Berkat kerja keras adiknya itu, GIBRAN dapat meneruskan karier keseniman dan kesastraannya yg masih awal.
Pada tahun 1908 GIBRAN singgah di PARIS lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari MARY HASKELL, seorang wanita kepala sekolah yg berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di BOSTON. Dari tahun 1909, dia belajar di School of Beauxs Arts dan Julian Academx.
Kembali ke BOSTON, GIBRAN mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota BEACON HILL. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tahun 1911, GIBRAN pindah ke kota NEW YORK, GIBRAN bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yg sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Sebelum tahun 1912, “BROKEN WINGS” telah diterbitkan dalam bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yg merupakan seorang Uskup yg oportunis. Karya GIBRAN ini sering dianggap sebagai autobiografinya. Pengaruh “BROKEN WINGS” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita2 Arab yg dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yg memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yg diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “BROKEN WINGS” ini dipersembahkan untuk MARY HASKELL.
GIBRAN sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun2 berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di LEBANON, GIBRAN menjadi seorang pengamat dari kalangan non pemerintah bagi masyarakat SYRIA yg tinggal di Amerika. Ketika GIBRAN dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredu. PIERRE LOTI, seorang novelis PERANCIS, yg sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata kepada GIBRAN, kalau hal ini sangat mengenaskan. Disadari atau tidak, GIBRAN memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.
GIBRAN sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun2 berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di LEBANON, GIBRAN menjadi seorang pengamat dari kalangan non pemerintah bagi masyarakat SYRIA yg tinggal di Amerika. Ketika GIBRAN dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredu. PIERRE LOTI, seorang novelis PERANCIS, yg sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata kepada GIBRAN, kalau hal ini sangat mengenaskan. Disadari atau tidak, GIBRAN memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.
Karya Pertama Kahlil Gibran
Sebelum tahun 1918, GIBRAN sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “THE MADMAN”, “HIS PARABLES AND POEMS”. Persahabatan yg erat antara MARY, tergambar dalam “THE MADMAN”. Setelah “THE MADMAN”, buku GIBRAN yg berbahasa Inggris adalah “TWENTY DRAWING”, 1919 ; “THE FORERUNNE”, 1920 ; dan “SANG NABI” pada tahun 1923, karya2 itu adalah suatu cara agar dia memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai siswa sekolah di LEBANON, ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918 – 1922.
Sebelum terbitnya “SANG NABI”, hubungan dekat antara MARY dan GIBRAN mulai tidak jelas. MARY dilamar FLORENCE MINIS, seorang pengusaha kaya dari GEORGIA. Ia menawarkan pada MARY sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggungjawab pendidikannya. Walau hubungan MARY dan GIBRAN pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip2 MARY selama ini banyak berbeda dengan GIBRAN. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya MARY menerima FLORENCE MINIS.
Pada tahun 1920, GIBRAN mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yg dinamakan ARRABITHAH AL ALAMIA ( Ikatan Penulis ). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yg stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi GIBRAN, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya BARBARRA YOUNG. Ia mengenal GIBRAN setelah membaca “SANG NABI”. BARBARRA YOUNG sendiri merupakan pemilik sebuah toko yg sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris.
Selama 8 tahun tinggal di NEW YORK, BARBARRA YOUNG ikut aktif dalam kegiatan studio GIBRAN. GIBRAN menyelesaikan “SAND AND FOAM” tahun 1926, dan “JESUS THE SON OF MAN” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “LAZARUS” pada tanggal 06 Januari 1929.
Setelah GIBRAN menyelesaikan “THE EARTH GODS” pada tahun 1931. Karyanya yg lain “THE WANDERER”, yg selama ini di tangan MARY, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yg lain “THE GARDEN OF THE PROPHETH”.
Akhir dari perjalan hidup kahlil gibran
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, GIBRAN meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di GREENWICH VILLAGE. Hari berikutnya, MARIANNA mengirim telegram ke MARY HASKELL di SAVANNAH untuk mengabarkan kematian Penyair itu. Meskipun harus merawat suaminya yg saat itu juga menderita sakit, MARY tetap menyempatkan diri untuk melayat GIBRAN. Jenazah GIBRAN kemudian dikebumikan tanggal 21 Ogos di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana GIBRAN pernah melakukan ibadah. Sepeninggal GIBRAN, BARBARRA YOUNG-lah yg mengetahui seluk beluk studio, warisan dan tanah peninggalan GIBRAN. Juga secarik kertas yg bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantu.”
Begitulah perjalan sang penyair, puitis, dan sang romantika. dan walaupun kahlil gibran sudah tidak ada lagi dalam kehidupan jaman sekarang namun karya-karyanya masih di kenal orang dari generasi ke generasi terutama pengaruhnya dalam puisi-puisi cinta dan kata-kata romantisnya bisa memberikan kepercayaan dan kekuatan tersendiri bagi yang membaca karyanya.

Readmore »» Biografi Khalil Gibran
Bacaan Selanjutnya - Biografi Khalil Gibran

Senin, 10 Desember 2012

Andika Mappasomba (Andhika Daeng Mamangka)


Jika ada penyair yang kadang menjuluki dirinya sendiri sebagaipenyair rombeng atau penghibur sastra keliling kampung maka inilah orangnya. Andhika Mappasomba, lebih sering disapa dengan nama Dhika. Lelaki berambut gondrong kelahiran Bulukumba 1980. Bekas bangku dalam kelas tempatnya duduk semasa SMP di Tanah Beru Bulukumba menjadi saksi awal perjalanan kepenyairan dari alumnus Universitas Islam Negeri di Makassar ini. Dhika sering ditemani oleh sebuah vespa butut yang diberi nama Aladin. Aktif dalam berbagai organisasi terutama organisasi yang mengepalkan tinju demi seni dan budaya. Yang penulis bisa lacak adalah bahwa dia tergabung dalam masyarakat Pencinta Seni Pertunjukan (Mata Sejuk) Indonesia dan sebagai direktur poros Tiga Institute Cultural Studies (p3i-CS Makassar). Pendengar RCA khususnya penggemar acara sastra Ekspresi selalu disiraminya dengan puisi. Dia satu-satunya penyair yang paling rajin membacakan sendiri puisi-puisinya di radiosetiap ada kesempatan menjadi bintang tamu di RCA.

Bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak dengan menerbitkan buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003). Sebuah buku kumpulan cerpen milik Anis dan kumpulan puisi milik Andhika. Buku selanjutnya Mawar dan Penjarayang keseluruhan isinya adalah sajak-sajaknya yang nyaris terbuang dan semoga saja memang tak akan pernah terbuang jika jadi terbit dalam tahun ini juga.

Andhika juga seorang blogger. Puisi-puisinya yang khas diletakkannya satu persatu di blog kelong pajaga tempat Dhika biasanya pulang beristirahat setelah lelah seharian menjelajahi alam, mengolah rasa, berdiskusi dengan manusia lainnya di alam terbuka ataupun ruang tertutup. Karakter khas puisi Andhika terletak pada kebiasaan-kebiasaan pengulangan metafora tapi dengan makna berbeda pada setiap puisi. Puisinya suka memotret perjalanan sekecil apapun.

Karya-karya Andika Mappasomba :

Bulukumba, Kota Sejuta Penyair

aku lahir di sini dari rahim ibu yang menua pada waktu tanah merah hitam yang menggumpal bekukan batang jagung dan batang padidan asin airnya mengalir dalam darahku bersama nyayian nyiur yang melambai-lambai pada garis pantainyamemanggil-manggil, menggema, memanjat batang kelor dalam sajak rindurindu pada negeri ibu, negeri sejuta nahkoda negeri sejuta panrita negeri sejuta nahkodabulukumba

walau
aku bertualang melangkah mendaki ke dalam belantara kehidupan
terbang ke langit ke lima menyusup ke dalam batas bumi
bertemu jawara-jawara yang menikam sukma
aku tak melupakan kokoh tiang pinisi menantang ombak sembilan samudera
aku tak melupakanmu negeriku, negeri sejuta nahkoda dan panrita,
negeri sejuta dongeng, negeri sejuta pau-pau, negeri sejuta budaya
kota sejuta penyair
bulukumba

walau
aku bertuaalang masuk ke dalam hidup menemui pengantinku di negeri jauh
lalu bercinta di batas lelah lunglai di puncak sepi
rindu tak pernah usai menyanyi dalam qalbu
memanggil-manggil pulang
memanggil-manggil pulang
melewati pematang sawah
menyusuri sungai, tepian pantai, lereng bukit
merenangi laut flores dan teluk bone
melintasi lompo battang
datang padamu bulukumba; meneguk airmu, mengupas jagungmu, menumbuk padimu,
memetik daun kelormu, mencubit daging tuing-tuing, loka-loka, lure, lajang,
yang kukulum bersama sayur kelor dan nasi kampo'do'

uh
najis rasanya pizza ayam goreng amerika
muntah rasanya makan sozzis dan conello cina
muntah rasanya minum minuman karbonat jepang
muntah rasanya makan gorengan dari minyak goreng malaysia

biarlah di kota sejuta penyair
kunikmati dendeng capi, poca'-poca', sanggara bambang, sarabba, lopisi, dumpi eja, kampalo, gogoso, baruasa, taripang, uhu'-uhu', cucuru dari minyak rakang

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota sejuta penyair

di sana kalian punya patung liberty
kami punya patung pinisi
di sana kalian punya pantai hawai dan bombai
kami punya pantai bira, dajo, lemo-lemo, batu tallasa, samboang, turungang beru, kajang kassi, kasuso, pantai ara, pantai merpati, dan leppe'
di sana kalian punya monte karlo
kami punya tebing lahongka
di sana kalin punya zamba, acapela, capuera
kami punya kelongpajaga, gandrang jong, dan mancak baruga
di sana kalian punya indian, aborigin, dan apache
kami punya kajang tana toa

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota pelabuhan rindu, negeri ibu
KOTA SEJUTA PENYAIR
BULUKUMBA
Bulukumba, 19 Juli 2008


Jendela Kereta

26 Februari 2008
hujan baru saja tuntas membasuh kotamu
rumput, kembang dan pepohonan tampak sumringah
aku intip kotamu dari jendela kereta yang melaju
di langit, bulan samar memaksaku merapal namamu

kaulah seserpihan bulan kerinduanku
pada kenangan, pernah kutanamkan sajak tujuh tangkai bunga
yang tak pernah sempat kau tatap hingga purna di waktu lalu

malam itu, aku melintasi kotamu
mengintip rumput, kembang dan pepohonan putih
dari jendela kereta yang melaju
tapi, mungkin hujan melelapkanmu dengan sempurna
hingga hentak kakiku tak kau dengarkan di larut ini

malam itu, aku melintasi kotamu
lewat sebuah radio tua, berdendang lagi sebuah lagu
lagu yang liriknya aku dan kau pernah memahatnya
dan anak-anak memakinya sebagai lagu dari zaman batu
lagu persembahan pada arwah dalam ritual suci kematian

malam itu, aku melintasi kotamu
dari luar jendela, rumput, kembang dan pepohonan
semua nampak berduka menyaksikan tetesan air mataku
atas nama kenangan
aku menangis
Mks-Palopo, 25 Januari 2008

PENYAIR HIDUP MEMAKAN APA?
By: Andhika Daeng Mamangka

nelayan hidup dari jaring ikan
sopir hidup dari roda mobil
tukang becak hidup dari keringat
tukang ojek hidup dari motor
buruh hidup dari tulang
...

pagandrang hidup dari gendangnya
arsitek hidup dari gambarnya
tukang batu hidup dari sekop dan sendoknya
tukang kayu hidup dari pahat, palu dan gergaji

penyiar hidup dari mulut wajah, mata dan telinganya
wartawan hidup dengan pena nya
tukang cuci hidup dari kotoran
pencopet hidup dari keahliannya
perampok hidup dengan menukar nyawa
kapten, nahkoda dan awak hidup dari kapalnya

polisi tentara hidup dari senjatanya
jaksa hidup dari persoalannya
hakim hidup dari palunya
pelukis hidup dari kuas kanvasnya
pematung hidup dari patungannya
pemahat hidup dari pahatnya

guru hidup dari sekolahnya
pedagang hidup dari dagangannya
dokter hidup dari rasa sakit
perawat hidup dari si sakit
apoteker hidup dari penyakit
bidan hidup dari persalinan

politisi hidup dari lidahnya
Loper hidup dari koran yang bukan korannya

jika
semua telah jelas dalam keadilan, jalan rejeki dan kehidupan
lalu penyair yang memilih jalan sepi kehidupan, 
dia hidup dari mana?
dia hidup memakan siapa?
seniman hidup dari mana?

kadang kita begitu lupa, mendiamkan sebiji apel segar, membusuk di dalam laci, bahkan, setelah busuk pun, lalu ia ditelan makan. padahal kita tahu, apel segar selalu menawarkan aroma yang harum

seniman hidup dari pengabdiannya kepada sepi, kepada sedih, kepada akal hati, kepada perih, kepada benci, kepada berkendi-kendi air mata, kepada tawa, dari sisa maki.

setelah syairnya dibacakan, dibicarakan, didengarkan, kita lupa memberikan kehidupan untuknya. 
setelah sajaknya kita dengarkan dan kita terbahak-bahak menertawai diri sendiri, kita jadi lupa demi sebuah syair, mereka menelantarkan diri dalam kemiskinan. dan KEADAAN pura-pura, lupa memberikan amplop di saku kirinya, lalu dia pulang berjalan kaki, melintasi 5 kota di lima kabupaten.

pendegar syair itu sungguh tahu, dia mempercepat kematian si penyair. Lalu, 5 tahun setelahnya, masih dengan bahak yang sama, sipendengar syair tersenyum simpul berkata; boleh aku meminta 1 buku syairmu?

penyair berkata;
jika kau kuberi satu
penyair hidup memakan apa?

Bulukumba, 14 September 2012

Mantra Diri di Dalam Sepi

duhai langit yang banyak bersaksi
dan bulan yanng pemalu
kukirim seluruh jampi diri di dalam sesaji
menemui kekasih dalam sepi

walau tak dapat menyentuh pipi
tenanglah hati menjadi saksi
tentang dia yang dilanda rindu tak bertepi

langit menjaga cintaku di dalam hatinya
bulan  menjadi wakil diri, mengecup dia di sela mata
jampi hanya jembatan menemui diriku di dalam dirinya

dalam sepi aku menyimpan kekasih di dalam hati
dalam sepi kekasih, dia menyimpan rahasia di dalam dirinya

rahasia memaksa diri menjadi terjajah rasa sendiri

Bulukumba, 29 Nopember 2011


Lautan Diri

ombak tiga susun menggelora dalam samudera diri
angin mengabut pekat dalam lautan imaji
semesta menghitam
hujan turun dengan perkasa merobek waktu

ini marah, sudah di puncak pendam
maka terhunuslah alif lam mim

amuk dalam lautan diri
menjadi rahasia milik sendiri dan Rabbiku

Bulukumba, 29 November 2011

Gelegar

aku kira hanya petir yang paling dahsyat gelegarnya
ternyata
saat kau nyatakan cintamu padaku
adalah letusan yang tak kuasa kukira-kira

pingsan aku mendengarnya

proklamasi perasaan cintamu padaku
adalah gelegar yang membuat waktu terhenti sejenak

aku rasa, ini keliru
cinta tak diciptakan Tuhan untuk membunuh

Bulukumba, Nopember 2011





Bersama seribuan lebih penyair se-Kabupaten Bulukumba, Andhika mendeklarasikan Bulukumba Kota Penyair pada Maret 2009. Hingga postingan ini dibuat tinggal satu hal yang belum dideklarasikan oleh Dhika yakni menikah.

Readmore »» Andika Mappasomba (Andhika Daeng Mamangka)
Bacaan Selanjutnya - Andika Mappasomba (Andhika Daeng Mamangka)

Biografi Mahrus Andis


Mahrus Andis adalah nama samaran (nama pena) dari Drs. Andi Mahrus Syarief. Ia lahir di Ponre Kabupaten Bulukumba pada 20 September 1958. Menyelesaikan SMA di tanah kelahirannya, Bulukumba, kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Sastra-Kebudayaan UNHAS dan selesai tahun 1984. Setahun ia menjadi asisten dosen kemudian memutuskan untuk kembali ke mengabdi ke kampung halamannya sebagai pamong.
Semasa kuliah ia aktif dalam organisasi kemahasiswaan. 

Kiprahnya di dunia kesenian dimulai pada tahun 1977, mangkal di Dewan Kesenian Makassar hingga 1986. Ia menulis semua genre sastra: puisi, cerpen, naskah drama, esei dan artikel sastra budaya. Karya puisinya telah dibukukan dalam berbagai antologi bersama dengan penyair-penyair Sulsel lainnya.  Aktivitas lainnya ia pernah mengasuh acara budaya di TVRI Stasiun Ujung Pandang dan Serambi Budaya di RRI Nusantara IV Makassar (1982-1984) Sejak 1986 Mahrus menjadi Pamong di Pemda Bulukumba. Berbagai jabatan pernah dipikulnya, mulai dari Kepala Bagian Organisasi, Kepala Bagian Hukum, Camat Ujung Bulu, Anggota DPRD, Kasubdin Sosial pada Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Linmas.

Lebih dari semua itu ia juga cukup dikenal sebagai Mubaliq kondang di daerahnya. Tapi meski sangat sibuk Mahrus masih terus menulis puisi. Buku kumpulan puisi tunggalnya yang sudah terbit berjudul : “Bulukumbaku Gelombang Berzikir” (Dewan Kesenian Bulukumba, 2001).

KARYA-KARYANYA YANG TERDOKUMENTASI PADA LAMAN INI ANTARA LAIN :

Prosa Kecil Buat Guruku
                                                                                                                    Puisi Mahrus Andis
Kita tebarkan kerinduan antara lekuk-liku perjalanan
Hari ini pun terasa ada sepenggal duka
Menggores di langit angan-angan
Ketika kita menghitung jari-jari waktu
Dan balon-balon kecil berhamburan dari jantungmu :
“Berangkatlah, anakku
Berangkatlah dengan perkasa menuju bukit
Tepiskan segala kabut. Redamkan semua takut
Karena hikmah pengembaraan adalah tasik yang bening
Alangkah setia menunggumu
Di laut pengabdian. Di pantai kemanusiaan
Lihatlah, anakku
Matahari tak pernah letih menyodorkan sinarnya
Bulan dan bintang menawarkan perdamaian
Tuhan yang maha bijak melebarkan sayap dan pikiranmu
Iqra’ bismirabbik !
Bacalah otakmu dan pandanglah ayat-ayat Ilahi
Kayuh perahumu, anakku
Pacu terus ke dasar lautan ilmu
Pasang kemudi syahadat. Laailaha Illahhah
Kibarkan layar Fii Sabilillah
Getarkan temali doa
Utlubul Ilma Minal Mahdi Ilal Lahdi”
Terima kasih, guruku
Jiwamu adalah nafas kehidupan
Kami kenangkan semua itu
Seperti juga kami kenangkan setumpuk teori
Mengganyang di batok kepalamu
Desah parau suaramu menggema di ruang-ruang kelas
Peluhmu mengalir dari jantung
Menetes-netes di papan tulis
Dan kamipun mengangguk-angguk
Lantaran capek dan ngantuk
Maafkan kami, guru
Tak tuntas terjawab jerih-payah pengabdianmu
Dan kebandelan kami. Kebandelan kami, guruku
Hanyalah nuansa perjalanan anak tualang
Hari ini kita bentangkan kembali jari-jari kenangan
Ketika engkau berkisah tentang hari-hari berkabut;
“Tengoklah dunia nyata di sekitarmu,
Anak-anak gembala mendengkur di punggung kerbau
Para remaja melepaskan letih di sudut-sudut kota
Mereka rindukan pendidikan tapi biaya tak pernah mengizinkan
Mereka punya modal yang cukup tapi sukma tak rindu pendidikan
Dunia mereka tersaput gumpalan kabut
Masa depan mereka adalah sunyi yang ngeri
Mereka adalah saudara-saudaramu
Nasibnya pahit. Matanya buram
Dan engkau, anakku
Jangan sia-siakan mendaki dari lembah ke bukit
Karena usia dan kesempatan
Tak akan pernah bersahabat dengan kelalaian
Meskipun air matamu tercurah di perut bunda
Tangismu cumalah duka bumi
Penyesalan yang berkepanjangan”
Terima kasih, guruku
Nafasmu adalah suluh pengembaraan
Kami kenangkan semua itu
Seperti juga hari ini ketiuka engkau melepaskan kami dengan senyum
Matapu pijar memancarkan harapan yang kental
Menyulut api dalam dada
Mengantarkan kami ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Samudra ilmu yang maha dalam
Iqra’ bismirabbik
Terbaca sudah
Cahaya rimba raya belantara-Mu
Bulukumba, 1989
Sumber: 
Antologi Puisi “Bulukumbaku Gelombang Bersinar”, Dewan Kesenian Bulukumba, 2001)



SAJAK PELANTIKAN


Dari mimbar ini
sepenggal orasi terpental
langit-langit ruang bergetar
gemanya menyeruduk ubun-ubun
" Atas nama kesetiaan
  aku melantik engkau
  menjadi seekor bayang-bayang sepi
  dari gairah mimpi-mimpi "
                                                      ( Bulukumba, 2013 )


Bulukumbaku Gelombang Berzikir

Nyalakan api dalam hati
membakar sukma pengabdian
untuk bumi kita
Bulukumba yang hijau
tanah gembur
warisan leluhur
Bangkitkan semangat dalam dada satukan cinta dan harapan kibarkan panji-panji persaudaraan untuk bumi kita Bulukumba yang damai tanah kerinduan yang menghapus darah dan air mata

Hari ini
Kita gemakan kalam abadi
seuntai perjanjian hati nurani

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar

Bulukumbaku
           Gelombang
                     Berzikir


                                                                     Bulukumba, 2002 

ANTARA BIJAWANG DAN GANTARANG

Pernah kupacu perahu kecil ini
menjauh dari pantaimu
Angan-angan pun
gugur satu-satu
ke dalam laut menjadi biru
ke dalam ombak menjadi buih
ke dalam arus
mengalir kembali
ke putih pasirmu
memanggil-manggilku
memanggil-manggilku !
                                                                   ( Blk 1984)
Readmore »» Biografi Mahrus Andis
Bacaan Selanjutnya - Biografi Mahrus Andis

Workshoop Seni Pertunjukkan dan Rekruitmen Sanggar Seni "Panrita" Angkatan II

مع اسم الله تعالى رحيما
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu'

Panitia Pelaksana
Workshoop Seni Pertunjukkan dan Rekruitmen 
Sanggar Seni "Panrita"  Angkatan II
STIKes Panrita Husada Bulukumba
  Salam Budaya...!
     "Nursing Is The Art" Kata yang penuh Arti dan Makna bagi seorang tenaga kesehatan, dimana dalam memberikan suatu Pertolongan Kesehatan perlu Intelejensi, Keterampilan, dan Seni yang tinggi. maka dari itu Kami dari Sanggar Seni "Panrita" STIKes Panrita Husada Bulukumba Akan mengadakan Wirkshoop Seni Pertunjukkan dan Rekruitmen Sanggar Seni "Panrita"  Angkatan II.
     Pemateri :
  1. BpkMahrus Andis " Arah dan Kebijakan Kebudayaan di Sul-Sel"
  2. Bpk Darsyat Pabottingi " Manajemen Seni Pertunjjukan"
  3. Bpk Idris Aman " Peranan Budaya dalam memperkuat jati diri"
  4. Bpk Agus Riadi Maula " Organisasi Seni Pertunjukkan"
  5. Ibu Dewi Fausi " Olah Tubuh dan Rasa"
  6. Bpk Abdul Karim " Musik iringan"
  7. Bpk Asrul Sani " Manajemen Organisasi"
DoorPrize
  1. Sertifikat
  2. Komsumsi di Tanggung
  3. Ilmu
Untuk Info Lebih Lanjut :
  1. Untuk DIII Kebidanan Hubungi  Wina Wahdaniah ( No Hp 08991508940 )
  2. Untuk S1 Keperawatan Hubungi Zulqifli ( 085-213-907-828 )
  3. Sahabat-sahabat "Panrita"

Salam Sukses.....!
Sanggar Seni Panrita
Kreasi Tanpa Batas



Readmore »» Workshoop Seni Pertunjukkan dan Rekruitmen Sanggar Seni "Panrita" Angkatan II
Bacaan Selanjutnya - Workshoop Seni Pertunjukkan dan Rekruitmen Sanggar Seni "Panrita" Angkatan II

Minggu, 09 Desember 2012

PAPPASENG TO RIOLO

 Engngerangngi duwae – alupaiwi duwae :

- Engngerangngi pappedecenna tau laingnge lao rilaemu
- Engngerang toi pappeja’mu lao ripadammu tau.
- Alupaiwi pappeja’na padammu tau lao rialemu
- Alupai toi pappedecemmu lao ripadammu tau.
Artinya : Ingat dua hal dan lupakan dua hal ;
- Ingatlah kebaikan orang lain terhadap dirimu
- Ingat juga keburukan dirimu terhadap orang lain.
- Lupakan kebaikan kamu terhadap orang lain
- Lupakan juga keburukan orang lain terhadap dirimu.

Patampuangeng murennuangngi,
Seuwani awaraningengnge, maduanna accae, matelluna asugirengngi, maeppana dara’e.
Apa aju tabu’e satu sikuwae. Iya aju tabu’e
Tellu onrong de’sa tu naonroi madeceng.
Ritaro ritanae nanre’i bebbu’e, ritaro’i ri uwae’i masigai atamang,
Ritaro’i ri apie masigai puppu.

Artinya:
Jangan berharap kepada empat jenis iaitu;
Pertama; keberanian, kedua; kepintaran, ketiga;kekayaan.keempat derajat/keturunan.
Sebab keempat ini adalah umpama kayu lapuk.
Adapun kayu lapuk tak bisa disimpan dengan baik.
Di tanah dimakan rayap. Di simpan di air akan terendam basah.
Disimpan di api cepat habis terbakar.

Eppai pasalewangengngi seddie tau;
- Teppalaloengngi ada-ada masala naewae situdangeng.
- Teppaliwengiengiengngi gau’ siratannae.
- Moloiwi ropporoppo narewe’ paimeng.
- Molai laleng namatike’
Artinya :
Ada empat hal yang membuat orang selamat ;
- Tidak menyinggung dengan kata-kata sesamanya yang duduk.
- Tidak melampaui batas kewajaran
- Menemui janlan buntu, dia kembali
- Melewati sebuah jalan, dia hati-hati.
Eppa’i uwangenna paramata matappe’e
Sewuwani teppe’e
Maduanna issengnge
Matellunna gau pattuju’e
Maeppanna siri’e
Artinya :
Ada empat permata yang memancarkan cahaya pada anak cucu nabi adam
Pertama : iman dan kepercayaan
Kedua : pengetahuan
Ketiga : perbuatan baik
Keempat: harga diri


Ceko riyala sanreseng

Pajaneng temmalampe’
Riyala pakkawaru.
Lempuu riyala sanreseng
Pajaneng masumange’
Madeceng laona

Artinya :
Jika sifat curang dijadikan pedoman (sandaran)
Tentulah takkan mungkin lestari
Untuk dijadikan pengharapan
Jika kejujuran dijadikan pedoman (sandaran)
Tentulah akan menjadi sesuatu yang indah
Segala sesuatunya akan baik

Uwappasengenngi makkatenning ri limaé akkatenningeng:
Mammulanna, ada tongenngé,
Maduana, lempuk-é,
Matellunna, gettenngé,
Maeppakna, sipakataué,
Malimanna, mappesonaé ri pawinruk séuwaé,
Artinya :
Aku memesankan berpegang pada lima pegangan:
Pertama, perkataan yang benar,
Kedua, kejujuran,
Ketiga, keteguhan pada keyakinan,
Keempat, saling menghargai sesama manusia,
Kelima, berserah diri kepada pencipta yang tunggal.

Paddioloiwi nia’ madeceng ritemmaddupana sininna gau’e.

Artinya :
Dahuluilah dengan niat yang baik sebelum terlaksananya semua perbuatan.

- Aja’ mumatelleng poadangngi rahasiya makkunraimmu,
- Aja’ mumatelleng sanre ri tosugi mammula menre’e.
- Akkalitutuiwi majjowa ri arung maloloe.
- Aja mutonangi lopi wati sewalie.
Artinya:
- Hati-hati jika membuka rahasia pada isterimu
- Hati-hatilah jika bersahabat dengan orang kaya baru.
- Hati-hatilah mengikut pemimpin yang masih muda.
- Jangan menumpang perahu yang hanya memiliki pengapung sebelah.

Lima rupanna mappasala nawanawa ;

1. Masero cinnae
2. Nabette rennu
3. Nalipe’e tau
4. Nawasue bacci
5. Maraja teyae.
Artinya:
Lima macam yang membuat orang salah pemikiran ;
1. Terlalu mau
2. Terlalu gembira
3. Terlalu takut
4. Terlalu marah
5. Terlalu tidak mau.

Tanranna tau sulesana-e:
Mola-i ada naparapi,
Duppa-i ada napasau,
Matu ada natuttukenna,
Taro-i gau’ nariakkuanna-e’.
Artinya:
Ciri orang bijaksana:
Mampu mengikuti pembicaraan,
Dalam menyambut pembicaraan ia membalasnya dan mengalahkannya,
Menyusun pembicaraan dengan teratur dan terarah,
Melakukan perbuatan yang sepatutnya.

Eppa’ tanranna tomadeceng kawali’e ati’e,

Sewuwani passui’e ada’ nappatuju,
Maduanna matu’i ada’ nasatinaja,
Matellunna ada’ nappasau’,
Maeppa’na molai ada na parapi.
Artinya :
Ada empat tandanya orang yang baik hati.
Pertama, mengeluarkan perkataan yang benar (bercakap benar),
Kedua, menyusun kata-kata yang bijaksana,
Ketiga, menerima perkataan (nasihat) dan menguasainya,
Keempat, teliti dalam berkata

Naiya solangnge’i mangkaue,
Sewuwani nabawampawangngi tau tebbe’e,
Maduanna denna situru’e ada ribicara melempu’e,
Matellunna temmalempue’i ripadanna tau,
Maeppana napesangi tori alena maggau’ bawang ri tomaega’e.
Artinya :
Seseungguhnya yang merusak pemimpin itu adalah :
Pertama, bertindak sewenang-wenang kepada rakyat.
Kedua, tak ada kesepakatan dalam kejujuran.
Ketiga, tidak jujur kepada sesama insan,
Keempat tidak melarang orangnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat.

Makkedai nabitta Muhammad saw.”iyyaritu lino’e, eppa’i uwanggena,

Sewuwani arung malempu’e,
Madduanna panrita bokoringngi’e lino’e, pakkasiwiyanna manri puang allah ta’ala napogau,
Matelluna to’sugi’e na malabo,
Ma’epana pakke’re sabbar’ra.

Artinya:

Telah bersabda nabi junjungan kita Muhammad saw. : dunia ini empat tiangnya,
Pertama pemerintah yang amanah,
Kedua para ulama yang membelakangkan dunia dan hanya mengutamakan suruhan agama,
Ketiga para hartawan yang dermawan dan
Keempat fakir miskin yang sabar.

Aniniiri 2, mupoadai 1, mupogau’i 1, muingerrangngi 2, muallupai 2 mulolang ri tengngana padammu rupa tau.
1. Aja’ mucellai pojinna tauwwe…
2. Aja’ murekengngi appunnanna tauwwe…
3. Poadai anu sitinaja weddingnge napurio tauwwe…
4. Pogau’i gau’ sitinaja weddingnge napudeceng tauwwe…
5. Ingngerrangngi pappedecengna tauwwe lao ri idi’…
6. Ingngerrangngi asalammu lao ri tauwwe…
7. Allupaiwi pappedecengmu lao ri tauwwe…
8. Allupaiwi asalangna tauwwe lao ri idi’…
Duami passaleng nassabaari nasisala rupa tauwwe ri lalengna lino.
Anu temmanessae sibawa
Anu tenripahangnge”
Artinya :
Hanya 2 hal yang menjadi penyebab perselisihan antar sesama manusia di dunia ini
Hal yang tidak jelas dan
Hal yang tidak dipahami


Lele buluu tellele abiasang, naekia lelemoo abiasangengnge, abiasang toopa palelei


Artinya :
(Gunung dapat berpindah tapi kebiasaan tidak dapat berpindah, namun kebiasaan dapat berpindah jika kebiasaan pula yang memindahkannya)


Readmore »» PAPPASENG TO RIOLO
Bacaan Selanjutnya - PAPPASENG TO RIOLO

PANANRANG (Lontara’ Bugis; Berkaitan Siklus Iklim dalam Pertanian)


Bahasa, Kesusastraan dan Kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis Purba) adalah suatu obyek penelitian yang cukup menarik untuk kajian subyek ilmu, akan tetapi publikasi tentang bahasa, kesusastraan dan kebudayaan tersebut sampai sekarang masih terlantar. (Mattulada: 1975)

Masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang majmuk dan hetrogen, seperti juga sebagaian propinsi lain di Indonesia. Kemajmukan ini ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social yang bedasarkan suku, agama, adat-istiadat dan budaya serta daerah geografis. Disamping itu, secara vertical struktur masyarakatnya juga ditandai oleh adanya pelapisan social.(Koentjaraningrat, 1992: 4) 
Masyarakat atau suku yang beragam itu, tumbuh menurut sistem nilai budaya atau aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut, tertulis maupun yang tidak tertulis
Tradisi tulis di Sulawesi Selatan dimulai jauh sebelum masuknya Agama Islam di daerah ini. Naskah-naskah kuno pada umumnya menuturkan berbagai kisah yang sama sekali tidak menyinggung tentang Islam ataupun ajarannya. Hal ini membuktikan bahwa naskah tersebut ditulis sebelum abad XVII. 
Bahkan naskah-naskah Lontara’ Bugis (aksara
Lontara’) yang ditulis pada abad XIII atau XIV M. dalam pengkisahannnya terungkap nama Majapahit dalam ceritanya. (Tim Penyusun Catalog, 1994: 1)
Tradisi tulis bagi Suku Makassar sebelum mengenal akasara lontara’, telah mengenal aksara Jangan-Jangan yang sering dipergunakan dalam lingkup Istana dan para pemangku adat. Akasara Jangan-Jangan ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan aksara Kawi. Salah satu bukti kuat yang perna ditemukan pada penggalian reruntuhan Benteng Somba Opu yang didirikan oleh Raja Gowa IX I Manguntungi Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna dengan ditemukannya sebuah batu bata yang bertuliskan aksara Jangan-Jangan. oleh para ahli diperkirakan penggunaannya sekitar abad IX. Sedangkan aksara Lontara’ yang dipergunakan di Sulawesi Selatan sampai sekarang sangat erat kaitannnya dengan aksara Kaganga (Sumatra).
Tradisi tulis atau naskah-naskah klasik di Sulawesi Selatan (Suku Bugis, Makassar termasuk Mandar), pada awal penulisannnya mempergunakan media daun lontar kemudian disalin atau ditulis ke dalam media kertas, yang memuat berbagai kearifan local dan nilai-nilai tradisi masyarakat. Naskah-naskah tersebut dianggap sebagai milik bersama karena ia bertumbuh dari suatu keasadaran kolektif yang kuat dari masa silam dan mencakup berbagai aspek kehidupan.
Memasuki alam pernaskahan di Sulawesi Selatan bagaikan memasuki hutan belantara didalamnya terdapat mutiara bertatakan zamrud, semakin kedalam semakin terkuak akan kekayaan yang tak ternilai. Naskah-naskah tersebut memuat berbagai macam disiplin ilmu, mulai dari filsafat, astronomi, ekonomi, filsafat, pertanian, hukum, tasawuf, dan sebagainya.
Naskah-naskah klasik di Sulawesi Selatan, menurut jenis dan isinya dapat dikategorikan antara lain Lontara’ Patturiolong/ade’ (memuat tentang aturan-aturan hukum dalam hubungan sosial kemasyarakatan), Lontara’ Pabbura (memuat tentang ramuan-ramuan obat/obat-obatan), Lontara’ Bilang (memuat tentang catatan harian/agenda peristiwa pwnting dalam kerajaan), Pappaseng (memuat tentang pesan-pesan/nasehat orang-orang bijak), Kutika (memuat tentang waktu/hari yang baik dan buruk atau tentang nasib dan peruntungan), dan Lontara’ Laongruma/Pananrang (memuat tentang tata cara bercocok tanam, iklim dan curah hujan). (H.Johan Nyompa, 1986: 4)
Keberadaan naskah-naskah klasik tersebut, secara fisik sebagian masih dibisa ditelusuri, meskipun sangat memprihatingkan baik dari bahan maupun dari segi perlakuan terhadap naskahnya, akan tetapi pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat masih sangat besar, terutama naskah-naskah yang berhubungan dengan tata cara bercocok tanam (Pananrang).
Kabupaten Soppeng sebagai salah satu lumbung padi dan penghasil padi kwalitas terbaik di Sulawesi Selatan, Masyarakat petani di daerah ini masih menjadikan Pananrang atau Lontara’ Laongruma sebagai pedoman dalam bercocok tanam bahkan dalam kehidupannya sehari-hari.

Pananrang disingkat PNR atau biasa disebut Lontara’ Laongruma adalah naskah yang memuat tentang tata cara bercocok tanam, perubahan iklim, siklus musim tanam, baik tanaman palawija maupun tanaman padi. Naskah ini juga memuat tentang prakiraan serangan hama tanaman bila ditanam pada waktu tertentu dalam bulan-bulan tertentu, dan bahkan juga dapat diprediksi musim-musim wabah penyakit (sai =Bugis).

PNR naskahnya jamak (tidak tunggal), masing-masing daerah kabupaten yang didiami suku Bugis mempunyai Pananrang sendiri, bahkan dibeberapa kampung atau rumpung keluarga mempunyai pananrang tersendiri yang diwarisinya secara turun temurun dan menjadi pedoman dalam mengelola dan menggarap lahan pertaniannya.
Salah satu naskah PNR yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat di Lajjoa(salah satu kampung yang berada dalam wilayah Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan), yang menjadi kajian penulis dari 5 (lima) buah naskah panarang yang menjadi bandingan.

Naskah PNR ini, berbahasa Bugis dengan aksara Lontara’, berukuran 15 x 21 dengan tebal 22 halaman, setiap halaman terdiri atas 14-15 baris, yang bersampul karton tebal dijilid benang, lengkap dan sangat jelas, dan tidak ada penulis atau penyalinnnya. Naskah PNR diwarisi secara turun temurun dalam keluarga, dan tersimpang dengan baik oleh pemiliknya, naskah yang dibaca hanya naskah salinan.
Naskah PNR ini, tidak ada mukaddimah langsung pada isi naskah yaitu: 

Ompona Muharram = Terbitnya bulan muharram.
Apabila terbitnya bulan muharram jatuh pada:
  1. Hari Sabtu; maka musim dingin akan panjang, panen padi melimpah ruah, dan tentram kerajaan.
  2. Hari Ahad; musim sangat dingin terutama yang tinggal dibantaran sungai, serta buah-buahan melipah ruah.
  3. Hari Senin; wabah penyakit meraja lela, banyak orang yang meninggal, kurang curah hujannnya, banyak orang yang melahirkan anaknya laki-laki, terjadi keresahan atau kesusahan dalam kampong.
  4. Hari Selasa; tidak ada hasil pada musim timur, banyak curah hujan dan petirnya, banyak orang yang sakit akan tetapi tidak sampai meninggal.
  5. Hari Rabu; musim dinginnya kurang, mudah mencari reseki.
  6. Hari Kamis; tidak ada hasil pada musim timur, banyak orang yang melahirkan dan buah-buahan melipah.
  7. Hari Jumat; para pedagang bakal meraup keuntungan besar, bahkan semua orang meskipun yang lemah juga tetap ada reskinya, hasil panen juga melimpah, serta buah-buahan juga melimpah.
Disamping itu pada pembahasan selanjutnya dijelaskan tentang terbitnya bulan dari penanggalan satu sampai tiga puluh :

  1. Tanggal 1;Esso annyaranngi; tidak baik untuk merantau, baik untuk urusan pemerintahan, hari kelahiran Adam
  2. Tanggal 2 ; Esso jongai asenna; baik untuk perkawinan, baik untuk jualan, hari kelahiran Hawa
  3. Tanggal 3 ; Esso sikui asenna; tidak baik untuk semua jenis pekerjaan,
  4. Tanggal 4 ; Esso meongngi asennna; baik untuk membangun rumah, pernikahan
  5. Tanggal 5 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan tidak baik, tenggelamnya nabi Nuh
  6. Tanggal 6 ; Esso tedongngi asenna; baik untuk pembelian kerbau, tidak baik untuk merantau, dan membeli pakaian
  7. Tanggal 7 ; Esso balawoi asennna; bila beutang tidak dapat diabayar
  8. Tanggal 8 ; Esso Banua alipengngi asennna; baik untuk bepergian, pernikahan.
  9. Tanggal 9 ; Esso nagai asenna; bagus untuk bepergian
  10. Tanggal 10 ; Esso nagai asenna; baik untuk meratau, mendirikan rumah, menanam
  11. Tanggal 11 ; Esso macangngi asenna; hari masuknya surga Nabi Adam, baik untuk kembali ke pantai
  12. Tanggal 12 ; Esso macangngi asenna; baik untuk jaual-jualan
  13. Tanggal 13 ; Esso gajai asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.
  14. Tanggal 14 ; Esso pulandoi asenna; baik untuk semua pekerjaan keculai merantau
  15. Tanggal 15 ; Esso balei asenna; baik untuk membuat perahu
  16. Tanggal 16 ; Esso bawi asenna; baik untuk menanam dan tidak dengan yang lainnya
  17. Tanggal 17 ; Esso jarikaniai asenna; baik untuk semua pekerjaan termasuk merantau, melamar, menghadap Raja.
  18. Tanggal 18 ; Esso balipengngi asenna; baik untuk merantau, pernikahan, mendirikan rumah, dan menanam.
  19. Tanggal 19 ; Esso lawenngi asenna; bagus untuk melamar
  20. Tanggal 20 ; Esso ala-alai asenna; baik untuk melamar orang akan senang menerima kedatangan kita.
  21. Tanggal 21 ; Esso nahase; kurang kebaikannnya
  22. Tanggal 22 ; Esso assiuddaningeng asenna; baik untuk merantau, mendirikan rumah, pernikahan, dan menanam
  23. Tanggal 23 ; Esso ilesso’I asenna; baik untuk merantau, menanam, pernikahan, dan tidak baik untuk yang lain.
  24. Tanggal 24 ; Esso pariai asenna; kurang kebaikan
  25. Tanggal 25 ; Esso Pasessoroa asenna; kurang kebaikan
  26. Tanggal 26 ; Esso suniai asenna; baik untuk merantau,menanam, kalau berutang akan cepat dibayar, baik untuk nelayang
  27. Tanggal 27 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar
  28. Tanggal 28 ; Esso Alapung asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar
  29. Tanggal 29 ; Esso itii asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.
  30. Tanggal 30 ; Esso nanu’ asennna; baik untuk menebang kayu, tidak dimakan rayap, kalau ada anak yang lahir akan murah reskinya.
Dan pada halaman terakhir termuat kutika (prakiraan bila seseorang akan bepergian atau hendak melaksanakan hajatan), maka waktu-waktu tertentu dalam setiap harinya harus dipelajari. Dalam naskah PNR ini setiap hari mulai jumat sampai kamis dibagi kedalam lima waktu yaitu pagi, antara pagi dan tengah hari (abbue-bueng), tengah hari, lewat tengan hari, dan sore hari. Masing-masing waktu tersebut.

Khasanah naskah klasik Bugis-Makassar yang jumlahnya sangat banyak, memerlukan perhatian yang serius bukan hanya dari pelestarian benda materialnya akan tetapi perlu pengkajian yang mendalam dari aspek contens kandungan maknanya, karena naskah-naskah tersebut sangat terkait dengan berbagai disiplin ilmu seperti sastra, filsafat, hukum, ekonomi, astronomi, falak, pertanian, dan bidang keagamaan. Apa yang disinyalir oleh Cak Nur bahwa jumlah naskah “kita” yang besar itu, bukan hanya ratusan ribu, bahkan jutaan dalam berbagai bidang keilmuan, pasti didukung oleh jumlah ilmuan yang besar pula. Di Sulawesi Selatan dikenal nama-nama separti Kajao Laliddong (Bone), La To Baja (Soppeng), Nenek Mallomo (Sidrap), Ammana Gappa (Sidrap), Syekh Yusuf al-Makassari (Gowa) dan masih banyak lagi yang lainnnya.

Bahwa tradisi penyalinan naskah-naskah di Sulawesi Selatan dari waktu kewaktu, dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun dilakukan oleh “tukang-tukang salin” atau dikenal dengan sebutan “Pallontara’”untuk kepentingan pribadi, komersial dan pemerintahan. Disetiap kerajaan local terdapat jabatan yang disebut “juru tulisi” yang bertugas sebagai pencatat peristiwa penting atau keputusan raja, baik masalah pemerintahan dalam Lontara’ Bilang, maupun masalah social dan pertanian dalam “Pananrang”. Jabatan juru tulisi kini telah tiada, yang ada hanyalah Pallontara
itupun jumlahnya sangat sedikit dan berkarya dan menulis bidang-bidang tertentu, untuk kepentingan pribadi dan keluarga saja.

Bahwa naskah PNR mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalah kehidupan masyarakat Soppeng, karena masih diyakini mempunyai manfaat yang sangat besar dalam siklus iklim pertanian.

Bahwa penelitian naskah di Sulawesi Selatan masih banyak hal-hal khusus yang belum terjangkau untuk dipaparkan sebagai temuan penelitian, seperti masalah kepemimpinan, kedudukan wanita, pendidikan anak, perekonomian, perbintangan, pelayaran, obat-obatan dan sebagainya. Hal-hal khusus itu sangat unik dan spesifik disebutkan dalam naskah. Dengan demikian naskah lontara’ Bugis- Makassar tetap menarik perhatian para peneliti untuk menjadikannnya sebagai obyek penelitian dari berbagai pendekatan.

Bahwa naskah-naskah klasik direkomendasikan untuk dijadikan obyek telaah dan kajian dari dua sisi; sisi pertama, naskah dikaji dengan pendekatan filologi untuk pengembangan ilmu-ilmu lain yang terkait, seperti ilmu-ilmu social, antropologi dan ilmu agama islam; dan sisi kedua naskah dikaji dengan meletakkannya sebagai fenomena sejarah, sosial dan budaya masyarakat Bugis-Makassar, untuk menemukan jati dirinya sebagai warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua pendekatan ujung-ujungnya bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sesuai, metode dan prosedurnya sangat bermanfaat untuk dijadikan model pengambilan kebijakan di bidang pendidikan demokrasi, moral, hak azasi manusia dan pengukuhan persatuan yang berwawasan kebangsaan.

Wallahu a’lam bi sawab




Readmore »» PANANRANG (Lontara’ Bugis; Berkaitan Siklus Iklim dalam Pertanian)
Bacaan Selanjutnya - PANANRANG (Lontara’ Bugis; Berkaitan Siklus Iklim dalam Pertanian)

Falsafah Hidup Orang Bugis (Antara Nostalgia Sejarah dan Realitas Sekarang)


Falsafah hidup secara fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio kultural yang dijadikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai patron (pola) dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normatif ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senan-tiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi motivasi usaha.

Mengenai nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam falsafah hidup, pada dasarnya telah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala zaman “ajaib” berlangsung yakni lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi, di seluruh belahan bumi muncul orang-orang bijak yang mengajari manusia tentang cara hidup. Orang India memiliki tokoh spiri-tual bernama Buddha, di Parsi bernama Zarasustra, di Athena ada Socrates, serta dalam masa yang sama Lao-Tse dan Confucius juga mengajar cara hidup di Tiongkok. Entah karena diilhami oleh petunjuk Yang Maha Kuasa atau alam mitologi maupun setting ling-kungan tertentu (dominasi alam), tetapi yang pasti bahwa mereka telah menunjukkan buah pikir yang sangat luar biasa di tengah keterbatasan sumber literatur.
Tak terkecuali orang Bugis, di masa lampau juga telah memiliki sederet nama orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika. Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pangaderrang. Makna pangaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan ter-hadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat-kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakan.
Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada’, Makassar) atau adat istiadat, yang berfungsi sebagai pandang-an hidup (way of life) dalam membentuk pola pikir dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam kehidupan ber-masyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), wari (perbedaan strata) dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara’ atau hukum ber-landaskan ajaran agama.

Pengamalan secara aplikasi-implementatif pangaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat) asas sekaligus pilar yakni: 
  1. Asas mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan diri-nya dalam pangaderrang
  2. Mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen; 
  3. Mappasenrupae, yakni mengamal-kan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang; 
  4. Mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis.


Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah hidup orang Bugis tersebut, menarik dihubungkan dengan etos kerja orang Wajo sebagai sebagai salah satu pendukung kebudayaan Bugis di jazirah Sulawesi Selatan.

Eksistensi Falsafah Hidup

Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, di antaranya tercermin melalui kalimat: “Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya adat yang mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan kewajiban dalam kontrak sosial antar Arung Matowa (raja) dengan rakyatnya.

Eksisnya nilai sosio-kultural yang terkandung dalam pangaderrang, sehingga tetap bertahan dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor. Pertama,bagi manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sosial budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa hanya dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin.Kedua, implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat.

Kecenderungan orang Bugis merefleksikan petuah atau nasehat serta wejangan para cerdik pandai sebelumnya, tidak lantas membuat mereka alergi dengan perubahan. Bahkan sebaliknya, kolaborasi-akumulatif antara nilai pangaderrang dengan syara’(agama) pada gilirannya menjadi benteng pertahanan tangguh terhadap institusi dari dominasi westernisasi dalam paket sekularisme. Mengenai Pentingnya peran agama dalam memfilter pengaruh sekularisme akibat modernisasi, sebenarnya telah mendapat perhatian serius sejak lama. Sebut saja Donald E. Smith, pernah menguraikan hal ini dalam buah penanya “Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis” (1985).

Masuknya pengaruh Islam secara adaptif dalam sistem nilai pangaderrang dan kemampuan merespon perubahan zaman di kalangan orang Bugis, pada gilirannya melahirkan pemaknaan ter-hadap institusi sosial sebagai warisan leluhur pun berbeda. Mungkin ada yang masih tergolong fanatik mengamalkan nilai-nilai ini, semi percaya, dan ada yang cenderung telah mengabaikannya. Meskipun demikian, bukan persoalan level pemaknaan yang menjadi inti kajian ini, akan tetapi bagaimana nilai sebuah pesan itu mampu menjadi pandangan hidup dan spirit usaha.

Falsafah orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku, sebagian dapat kita temukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung. Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam implementasinya.

Pentingnya aplikasi makna siri’‘ terhadap para penguasa (raja-raja) Wajo, tertera dalam pesan Puang ri Maggalatung: Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo’ tennga-e, Pari tengngai bicara ri tennga-e. Pesan ini bermakna “perbaiki cara bicara jika berbicara, perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.

Nilai-nilai filosofis tersebut, sebagian diwariskan dalam bentuk tertulis melalui lontarak, dan ada pula melalui pesan-pesan (Pappaseng) dan petuah (pappangaja). Sekadar untuk diketahui bahwa beberapa pendukung kebudayaan di Sulsel juga mengenal dan menghargai pesan leluhur, seperti: orang Toraja menyebutnya dengan aluktudolo, orang Kajang mengistilahkan dengan pasang, orang Bugis menamakan pappaseng, dan lain-lain .

Uraian mengenai pesan Puang Ri Magalatung tersebut, pada gilirannya menjadi pedoman hidup orang Bugis dalam beraktivitas tak terkecuali kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa untuk menjalankan aktivitas usaha (perdagangan) jenis apapun, tidak hanya dibutuhkan modal finansial. Akan tetapi sejumlah modal sosial(social capital), juga mutlak dimiliki terutama dalam menjalin interaksi sehingga antara produsen atau supplayer dengan konsumen atau user (pembeli; pemakai) dapat terjalin harmonis.

Bicara (cara bertutur kata), juga merupakan modal utama dalam kegiatan usaha dan bahkan menjadi faktor penentu terjalin dan terciptanya koneksitas. Batapa tidak, kemampuan (strategi) berkomunikasi memegang peranan penting untuk menarik minat melalui sejumlah kesan bersahabat yang diciptakan secara ekspresif.
Demikian pula ampe (tingkah laku; tempramen), memegang peranan signifi-kan sebab hal ini merupakan penentu lahirnya daya pikat dan ketertarikan orang lain atas seseorang yang membutuhkan. Karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat di kalangan orang Bugis Wajo, mengenal konsep sipakatau (memanusiakan sesama), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakainge (saling mengingatkan).

Etos Kerja dan Keberhasilan Usaha

Demikian penting dan berharganya pengamalan terhadap falsafah hidup, sehingga keberhasilan seseorang diukur berdasarkan beberapa parameter fungsional dalam masyarakat sebagai hasil usahanya. Dalam pengertian lain bahwa seseorang baru dikatakan sukses dalam berusaha, jika menempati elit stategik meliputi: 
  1. To-Mapparenta yakni pemegang kekuasaan atau petugas pemerintahan, 
  2. To-Panrita,yakni petugas kerohanian (tokoh spiritual) atau keagamaan, 
  3. To-Acca, yakni orang pandai atau cendekiawan sederhana, 
  4. To-Sugik, mapanre na saniasa yakni orang kaya, pengusaha yang terampil atau cekatan, dan 
  5. To-Warani Mapata’e yakni pemberani atau pahlawan yang selalu waspada. Hal tersebut menunjukkan bahwa parameter kesuksesan seseorang, ditentukan oleh 5 (lima) hal dan kekayaan menempati urutan keempat.


Kriteria To Sugik (orang kaya), telah ditetapkan menurut versi Lontarak sekaligus ukuran keberhasilan seseorang dalam berusaha. Dalam lontarak ditetapkan bahwa to sugikadalah orang yang selain memiliki kecakapan niaga, juga memiliki sendiri faktor yang diperguna-kannya seperti: modal, tanah persawahan, tanah perkebunan, empang (tambak), alat pengangkutan, dan lain-lain. Barulah seseorang dikatakan kaya, kalau sawahnya sendiri yang digarap, kerbaunya sendiri yang dipakai dan anaknya sendiri yang dijadikan gembala.

Dalam konteks kehidupan masyarakat modern seperti sekarang, ukuran (kriteria) keberhasilan usaha seseorang tentu saja ditakar melalui kategori usaha yang lain pula. Sebut saja keberhasilan seseorang sekarang, dilihat dari aspek kepemilihan usaha (alat produksi) yang dikelola sendiri. Demikian pula operasionalnya, menggunakan (melibatkan) tenaga anak sendiri atau keluarga dekat. Kecenderungan memilih tenaga kerja yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri, tentu tidak hanya refleksi dari falsafah hidup atau pesan pendahulu. Akan tetapi, mereka telah menyadari pentingnya pengkaderan atau pewarisan jiwa usaha kepada keturunan demi kontinuitas jenis usaha yang ditekuni.

Pentingnya usaha dan kerja keras untuk memperoleh hasil (rezeki), telah dikemukakan sejak masa Puang Ri Magalatung, Matoa Wajo (1491-1521), bahwa: “rezeki berasal dari Tuhan, tetapi rezeki itu haruslah dicari”. Karena itu, tidak heran jika di kalangan orang Bugis, memiliki sebuah motto yang hingga kini masih terus didengungkan yakni: “resopa temmangingi namallomo naletei pammase dewata” Ungkapan ini bermakna “hanya kerja keras dan sungguh-sungguh yang mendapat rahmat dari dewata/yang maha kuasa”.

Prinsip kerja keras tersebut, juga dikawal oleh pesan leluhur lain berbunyi: “aja mumaelo natunai sekke, naburuki labo” (jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros). Karena itu, Orang Bugis Wajo pada umumnya memegang pada prinsip Tellu Ampikalena To Wajo,E (tiga prinsip hidup) yaitu: Tau’E ri Dewata, siri’E ripadata rupatau, siri’E watakkale (Ketakwaan pada Allah SWT, rasa malu pada orang lain dan pada diri sendiri).

Penghormatan dan komitmen pada falsafah hidup sebagai pesan leluhur, juga tercermin melalui pengakuan seorang perantau bernama Pak Hasyim. Ia merupakan keturunan Pua’ dari Enrekang setelah merantau dan berlayar sebagai Kapten Kapal di Asia Tenggara, rupanya masih menghapal dengan mantap tentang ungkapan yang mengatakan: “Ri werenggi pole ri dewata-e, alebbireng koi ri luwu, asogireng koi ri wajo, awaraniang koi ri bone, awatangeng koi ri gowa”. Pernyataan tersebut, berarti: “dianegurahkan oleh dewata, kemuliaan pada Luwu, kekayaan pada Wajo, keberanian pada Bone, dan kekuatan pada Gowa.

Bila menggunakan hampiran teori Sibernetik tentang General System of Action, maka implementasi-aplikatif pesan leluhur sebagai sistem sosial sekaligus falsafah hidup, maka dapat dikatakan bahwa orang Bugis telah menjalankan fungsi sosialnya. Fungsi sosial yang dimaksudkan adalah: 
  1. Fungsi mempertahankan pola (pattern maintenance), yakni bersinggungan dengan hubungan suatu masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem kebudayaan; 
  2. Fungsi integrasi, yakni meliputi jaminan ter-hadap koordinasi yang diperlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial, khusus yang berkaitan dengan konstribusinya pada organisasi dan peranannya dalam keseluruhan sistem; 
  3. Fungsi pen-capaian tujuan (goal attainment), yakni menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sistem aksi kepribadian untuk mencapai tujuan hidupnya; dan 
  4. Fungsi adaptasi, yakni menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai suatu sistem sosial dengan sub-sistem organisme perilaku dan dengan dunia fisiko-organik. Fungsi adaptasi yang dimaksudkan dalam konteks ini, yakni proses penyesuaian masyarakat terhadap kondisi lingkungan tempat mereka melangsungkan kehidupan.


Keempat fungsi sosial sebagai karakter orang Bugis tersebut, pada gilirannya membuat terwariskan secara turun temurun sehingga masih tetap dikenal hingga sekarang. Demikian pula fungsi integrasi berarti sebuah rangkaian proses kehidupan yang dijalani oleh orang Bugis yang senantiasa berusaha semaksimal mungkin mengintegrasikan secara akumulatif nilai-nilai kultural sebagai identitas etnis dalam kehidupan ber-masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Adapun dua fungsi sosial lainnya yakni fungsi pencapaian tujuan berhubungan dengan cita-cita kolektif masyarakat yang ingin tetap menjadikan nilai-nilai ke-Bugis-an itu eksis di antara dominasi modernitas. Karena itu, cita-cita ingin menjadikan nilai-nilai luhur orang Bugis tetap menjadi pandangan hidup itulah yang menyebabkan sehingga siri’ tetap dijadikan sumber motivasi dalam keberhasilan usaha.

Demikian pula fungsi adaptasi berkaitan dengan kemampuan dan tanggung jawab kultural orang Bugis untuk tetap menyesuaikan diri secara adaptable dengan jiwa dan tuntutan zaman. Dalam pengertian bahwa pola adaptasi nilai-nilai budaya Bugis dilakukan melalui adopsi kultural yang dianggap relevan dengan kemajuan zaman, sehingga nilai-nilai kelampauan itu masih tetap up to date dan relevan dengan kehidupan dunia modern sekarang.

Tantangan dan Prospek

Spirit usaha (jiwa kapitalis) yang dimiliki oleh orang Bugis tidak dengan serta merta steril dari noda dalam wujud pengingkaran. Beberapa emage negatif di balik superioritas dan nama besar etnis ini, dalam perkembangannya sempat terbentang di mana-mana. Orang Bugis memang boleh bangga dengan predikat “Orang Cina-nya” Sulsel, dengan sejumlah sukses yang diraih dalam pengembangan usaha mulai dari kategori sederhana yang kompetitif hingga usaha skala besar yang “tak tertandingi”.

Di sisi lain, nama besar itu tercemar (jika dapat dikatakan demikian) oleh jargon seperti ungkapan bahwa Bugis itu adalah singkatan dari “Banyak Uang Ganti Istri”. Istilah yang sepintas hanya terkesan guyonan ini, rupanya bukan isapan jempol semata. Kecenderungan orang Bugis beristri lebih dari satu, telah mendapat perhatian serius sejak masa lampau. Kenyataan ini terbukti melalui salah satu materi pidato pelantikan “Matoa Wajo”, yang mengamanatkan: “boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk berbini, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modalmu dan bagi labamu”.

Peringatan Matoa Wajo tentang pentingnya strategi penggunaan uang dari usaha ini, menunjukkan bahwa salah satu penyebab tidak berkembangnya usaha seseorang karena faktor istri yang lebih dari satu (poligami). Bahkan kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa poli-gami, memang selalu identik dengan uang banyak (harta melimpah).

Meskipun demikian, ada anggapan yang cenderung apologik dan mungkin juga benar bahwa faktor penyebab orang Bugis khususnya dari kalangan bangsawan beristri lebih dari satu karena persoalan darah. Maksudnya, bahwa jika seorang anak gadis dikawini oleh lelaki yang berdarah bangsawan, maka ke-turunan (anak) yang dilahirkan kelak otomatis akan berdarah bangsawan.

Kesan buruk lainnya di balik sukses orang Bugis karena pengamalan falsafah hidupnya, juga tampak pada kesan bahwa jika sebuah usaha (industri) telah berkembang dan memerlukan modal besar serta pelibatan orang lain seringkali mengalami kegagalan. Fenomena ini, pada gilirannya melahirkan kesan bernada “degaga kongsi madeceng ri tana ugi” atau tidak ada perkongsian atau kerjasama yang berhasil di daerah Bugis.

Suatu cerita yang mencerminkan tabiat buruk pedagang Bugis juga dapat kita ketahui melalui kisah pedagang To-Welado. Suatu ketika saat sebuah rombongan pergi bersama-sama, muncul kesepakatan untuk diadakan kerjasama untuk menjaga keselamatan mereka. Ironisnya, yang termasuk dalam kesepatan itu hanya menyangkut keselamatan bersama tadi, sementara barang dagangan menjadi tanggung jawab masing-masing.

Makna kisah ini direfleksikan dalam terminologi bahasa Bugis berbunyi: “massilessureng watakkale, temmassilessureng waramparang” atau tubuh boleh bersaudara, namun harta tidak Dengan kata lain, bahwa meskipun seseorang itu ber-saudara kandung sekalipun, namun dalam melakukan usaha (berdagang) tidak mengenal saudara.

Kesan negatif seperti ini, hingga sekarang tampak masih menggejala sehingga tidak jarang dijadikan sebagai instrumen destruktif untuk mengalahkan lawan politik terutama yang berasal dari negeri Tosora ini. Karena itu, tidak heran jika kerap muncul di masyarakat anggapan bahwa para pedagang tidak boleh menduduki jabatan penting di pemerintahan, dengan pertimbangan bahwa apa saja dapat dijual untuk kepen-tingannya.

Hal ini mengkin berdasar pada ungkapan dalam Lontarak La Toa versi Wajo dikatakan: “salah satu tanda-tanda keruntuhan suatu negeri, apabila peme-rintah (pejabat pemerintah) ikut berdagang”. Sebaliknya, orang Wajo sendiri sering membela diri secara apologik bahwa hanya jika enterpreneur, seorang pemimpin dapat memanfaatkan semaksimal mungkin potensi alam yang dimiliki untuk kepentingan pembangunan.

Kesan dan anggapan negatif maupun bantahan atasnya tersebut, secara fundamental memiliki dasar argumentatif serta latar historis masing-masing. Karena itu, mengklaim mana yang benar dan yang salah, sepertinya kita tidak memiliki otoritas ilmiah karena harus berhadapan dengan jiwa zaman dan konteks historis yang saling berbeda. Dalam pengertian lain bahwa asbabul nuzul atau penyebab munculnya anggapan tidak boleh seorang pedagang menjadi pemimpin pemerintahan, mungkin disebabkan oleh adanya bukti empirik di masa lampau akan penyalahgunaan jabatan. Kemudian bantahan atas argumen tersebut, tentu wajar mengingat orientasi profit merupakan prasyarat mutlak untuk sebuah kegiatan pembangunan di era modern.

Mengenai eksistensi falsafah hidup, dapat ditelusuri secara historis melalui catatan sejarah yang menunjukkan bahwa perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dari pengamalan pangaderrang. Makna pangaderrang dalam koteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Melekatketalnya sistem norma di kalangan orang Bugis ini, sehingga dianggap berdosa jika seseorang tidak melaksanakan.

Dalam hubungannya dengan etos kerja dan keberhasilan usaha, maka seseorang baru dikatakan sukses dalam berusaha, jika menempati elit stategik meliputi: 
  1. To-Mapparenta yakni pemegang kekuasaan atau petugas peme-rintahan, 
  2. To-Panrita,yakni petugas kerohanian (tokoh spiritual) atau keagamaan, 
  3. To-Acca, yakni orang pandai atau cendekiawan sederhana, 
  4. To-Sugik, mapanre na saniasa yakni orang kaya, pengusaha yang terampil atau cekatan, dan 
  5. To-Warani Mapata’e yakni pemberani atau pahlawan yang selalu waspada. Hal tersebut menunjukkan bahwa parameter kesuksesan seseorang, ditentukan oleh 5 (lima) hal dan kekayaan menempati urutan keempat.


Dalam lontarak ditetapkan bahwa to sugik (orang kaya) adalah orang yang selain memiliki kecakapan niaga, juga memiliki sendiri faktor yang diper-gunakannya seperti: modal, tanah persawahan, tanah perkebunan, empang (tambak), alat pengangkutan, dan lain-lain. Barulah seseorang dikatakan kaya, kalau sawahnya sendiri yang digarap, kerbaunya sendiri yang dipakai dan anaknya sendiri yang dijadikan gembala
Di era modern seperti sekarang, ukuran (kriteria) keberhasilan usaha seseorang tentu saja ditakar melalui kategori usaha yang lain pula. Sebut saja keberhasilan seseorang sekarang, dilihat dari aspek kepemilihan usaha (alat produksi) yang dikelola sendiri. Demikian pula operasionalnya, menggunakan (melibatkan) tenaga anak sendiri atau keluarga dekat, adalah bentuk kesadaran akan pentingnya upaya pengaderan.

Selain kecenderungan beristri banyak, tantangan paling fundamental yang tidak kalah menarik yakni terjadinya kecenderungan di kalangan orang Bugis yang memilih jadi pejabat (penguasa). Akhirnya, dualisme orientasi dalam kehidupan seperti ini pada gilirannya berpotensi melahirkan semacam shiffing paradigm yang mengancam prospek jiwa wirausaha di kalangan orang Bugis. Akhirnya, nilai-nilai falsafah dan etos kerja ini seakan berada di antara nostalgia sejarah dan realitas sekarang.***

Readmore »» Falsafah Hidup Orang Bugis (Antara Nostalgia Sejarah dan Realitas Sekarang)
Bacaan Selanjutnya - Falsafah Hidup Orang Bugis (Antara Nostalgia Sejarah dan Realitas Sekarang)