Sabtu, 27 Oktober 2012

WARISAN KEMERDEKAAN SEKS DARI MERPATI


WARISAN KEMERDEKAAN SEKS DARI MERPATI
            Kali ini, toko kita bukan manusia. Seekor merpati. Merpati cantik milik tetaangga. Bulunya indah. Putih berbintik hitam. Kalu tidak salah, dialah yang palingcantik diantara sekian puluh betina lainya. Wajarlah jadi rebutan. Aku tidak cemburu sebab ia bukan sainganku. Aku bukan merpati. Aku Cuma seorang manusia.
            Merpati itu memang cantik. Idaman bagi si jantan. Pergaulanya luwes, tidak pernah minder dan malu-malu. Sikapnya lincah, gallat, pandai merayu. Dia juga senang dirayu. Karena itu, sejak lama tidak perawan. Namanya juga burung dara, tapi ia tidak kenal selaput dara. Dunianya merdeka. Hanya kenal satu hukum alam. Undang-undang perkawinan, mana munkin ia tau. Aku sendiri tidak peduli. Karena aku belum kawin.
            Merpati itu punya seekor jantan. Setiap pagi kulihat mereka main cinta. Kalau tidak di atap rumah, mereka bercumbu di atas pagar. Caranya mirip-mirip manusia. Teknik cumbu-rayu pun mereka miliki. Bagai cerita dalam novel Nick Carter. Sentuhan harus punya sasaran. Sentuhan mesti berproses. Sentuhan tidak boleh kehilangan irama. Itulah seni. Seni warisan dari alam. Seni yang harus diberi suaka atas kehormatanya. Seni yang harus dibaringkan di atas formalitas etika kemanusiaan. Tapi itu bagi manusia.
            Tadi pagi, kedua merpati itu bercumbu lagi. Tidak di atap rumah. Atau di atas pagar. Tetapi di sini, di dekat jendela, tepat di depan mataku. Mereka bercumbu seperti biasa. Saling menikmati kemerdekaan mereka. Aku piker, ini keterlaluan. Sepertinya tidak ada kehidupan lain di sekelilingnya. Atau barangkali mereka juga berpikir bahwa toh aku Cuma seorang manusia ? atau munkin aku pula yang kelewat nyinyir mencampuri urusan mereka ?
            Di tengah keasyikan bercumbu, tiba-tiba kedua merpati itu tersentak. Mereka tampaknya menyadari kehadiranku. Sejenak mereka menghentikan permainanya kemudian serentak mengepakkan sayap. Terbang menuju kabel listrik, tidak jauh dari jendela. Di sana keduanya bertengger memandang tajam ke arahku. Ada gurat kebencian dari matanya. Sepertinya mereka berkata kepadaku:
“wahai manusia ! tak perlu merasa iri pada kami
Bukankah kami telah mewariskan kepadamu
Bagaimana bercinta di alam bebas?!”
~blk 1980~
Readmore »» WARISAN KEMERDEKAAN SEKS DARI MERPATI
Bacaan Selanjutnya - WARISAN KEMERDEKAAN SEKS DARI MERPATI

Senin, 22 Oktober 2012

Malam Ramah Tamah Wisuda STIKes Panrita Husada Bulukumba

Jum'at malam, 18 Oktober 2012 bertempat di Mall Mega Zanur, Bulukumba. Kampus STIKes Panrita Husada membuat event Malam Ramah Tamah Wisudawati DIII Kebidanan Rangkaian acara Wisuda pada pagi harinya, dimana saat itu diikuti sekitar 70 Wisudawati STIKes Panrita Husada. Event yang digelar untuk pertama kali ini yang merupakan Lulusan yang kepertama Mahasiswa DIII Kebidanan STIKes Panrita Husada.
Wisuda ini dihadiri oleh Ketua Yayasan STIKes Panrita Husada Drs Padasi, Ketua STIKes Panrita Husada Muriyati S.Kep., M.Kes., Serta Perwalian Bupati Bulukumba.
Ramah Tamah yang dihadiri kurang lebih 70 lulusan STIKes Panrita Husada yang dilaksanakan saat itu berjalan dengan Hikmat dan penuh Haruh  dikarenakan pada acara tersebut merupakan tempat yang terakhir kalinya untuk saling bertemu sejak bersama-sama menuntul ilmu selama 3 tahun. 
Acara yang dimulai tepat pukul 8 malam tersebut dibuka dengan tari kreasi yang dibawakan oleh Sanggar Seni Panrita.
Yang kemudian pemberian sambutan oleh Ketua STIKes Panrita Husada Muriyati S.Kep,. M.Kes. dimana sambutan ini pemberian ucapan selamat sekaligus arahan  bagi Lulusan Kampus STIKes Panrita Husada. dan mahasiswa yang menghadiri acara pada malam tersebut. 

Kemudian oleh Pihak Yayasan STIKes Panrita Husada Pak Idris Zaman. Arahan yang penuh canda tawa tersebut terasa sangatlah berkesang sekaligus sebagai pembelajaran untuk lebih baik lagi.

Dan yang terakhir pembacaan sambutan bupati bulukumba yang.

Setelah Pemberian sambutan, pada malam tersebut juga dimeriahkan dengan penampilan Tater "Sanggar Seni Panrita" yang berjudul "Hitam Putih Mahasiswa". Penampilan tersebut merupakan persembahan kepada kakak-kakak senior yang telah lebih dulu sukses menyelesaikan kuliahnya.






Setelah pementasan tersebut kemudian ditutup dengan pembacaan Do'a oleh salah satu anggota BEM STIKes Panrita Husada.

Mudah-mudahan pada wisuda berikutnya semakin meriah, semakin lengkap dengan senior-senior lain yang lebih dulu sukses… Amin…

Foto-foto



Dosen STIKes Panrita Husada

Mahasiswa STIKes Panrita Husada

Wisudawati STIKes Panrita Husada

Wisudawati STIKes Panrita Husada

Wisudawati STIKes Panrita Husada

Mudah-mudahan pada wisuda berikutnya semakin meriah, semakin lengkap dengan senior-senior lain yang lebih dulu sukses… Amin…


Readmore »» Malam Ramah Tamah Wisuda STIKes Panrita Husada Bulukumba
Bacaan Selanjutnya - Malam Ramah Tamah Wisuda STIKes Panrita Husada Bulukumba

Jumat, 19 Oktober 2012

Hitam Putih Mahasiswa

"Hitam Putih Mahasiswa"
Sukses-sukses..........Itu adalah kata serentak terdengar dan berdengung ditelingaku, malam itu tepatnya malam Jum'at 18 Oktober 2012 adalah malam rama-tamah Wisudawati Mahasiswa STIKES Panrita Husada yang ke pertama kalinya. Pada malam itu kami Sanggar Seni "PANRITA" memberikan persembahan Teater tanda perpisahan yang berjudul "Hitam Putih Mahasiswa" kepada Senior-senior kami yang telah berhasil duluan menyelesaikan kuliahnya selama tiga tahun. 
Pementasan ini sekaligus merupakan kebanggan terbesar kami karena telah diberikan kepercayaan untuk memberikan keceriaan dibalik keharuan atas Suksesnya Senior yang telah meninggalkan Kampus STIKES Panrita Husada.
Cerita yang berjudul "Hitam Putih Mahasiswa' Ini di karang Oleh 
  1. Rezki Ardini Yusraj
  2. Akhmad M Hatta
  3. Darman
  4. Sutrawika
  5. Zulqifli
  6. Khaerul
  7. Akmar
Disutradarai Oleh : Sahabat-sahabat "PANRITA"
Musical Oleh : Zulqifli
Narator : St. Nisma
Pemain :
Sumarni : Rezki Ardini Yusraj
Ibu : Sutrawika
Salampe : Akhmad M Hatta
Andi Lantung Petta Imam : Darman
Karaeng Lompo : Akmar
Ambo Size : Khaerul
Kordoba : Awal Risna
Dosen : Rinayani
Mahasiswa :
  1. Suprani
  2. Anita
  3. Azira
  4. A. Ninar Srimalaningsih
  5. Ifa
  6. Nurnaningsi
Tetangga Ibu Sumarni : Rini Andriani





















































"Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka. sebab apa yang paling kalian kasihi darinya munkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan, Seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan daratan."

Readmore »» Hitam Putih Mahasiswa
Bacaan Selanjutnya - Hitam Putih Mahasiswa

Minggu, 14 Oktober 2012

Biografi Chairil Anwar


Biografi Chairil Anwar (1922-1949)

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.
Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta.
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah 
buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”
Berikuy ini beberapa Goresan tinta Cairil Anwar :

PRAJURIT JAGA MALAM 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
 
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
 
bermata tajam
 
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
 
kepastian
 
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
 
Aku suka pada mereka yang berani hidup
 
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
 
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
 
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
 

(1948)
 
Siasat,
 
Th III, No. 96
 
1949
 


MALAM
 

Mulai kelam
 
belum buntu malam
 
kami masih berjaga
 
--Thermopylae?-
 
- jagal tidak dikenal ? -
 
tapi nanti
 
sebelum siang membentang
 
kami sudah tenggelam hilang
 

Zaman Baru,
 
No. 11-12
 
20-30 Agustus 1957
 



KRAWANG-BEKASI
 

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
 
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
 
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
 
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
 
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
 
Kenang, kenanglah kami.
 

Kami sudah coba apa yang kami bisa
 
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
 

Kami cuma tulang-tulang berserakan
 
Tapi adalah kepunyaanmu
 
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
 
atau tidak untuk apa-apa,
 
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
 
Kaulah sekarang yang berkata
 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
 

Kenang, kenanglah kami
 
Teruskan, teruskan jiwa kami
 
Menjaga Bung Karno
 
menjaga Bung Hatta
 
menjaga Bung Sjahrir
 

Kami sekarang mayat
 
Berikan kami arti
 
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
 

Kenang, kenanglah kami
 
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
 
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
 

(1948)
 
Brawidjaja,
 
Jilid 7, No 16,
 
1957
 


DIPONEGORO
 

Di masa pembangunan ini
 
tuan hidup kembali
 
Dan bara kagum menjadi api
 

Di depan sekali tuan menanti
 
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
 
Pedang di kanan, keris di kiri
 
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
 

MAJU
 

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
 
Kepercayaan tanda menyerbu.
 

Sekali berarti
 
Sudah itu mati.
 

MAJU
 

Bagimu Negeri
 
Menyediakan api.
 

Punah di atas menghamba
 
Binasa di atas ditindas
 
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
 
Jika hidup harus merasai
 



Maju
 
Serbu
 
Serang
 
Terjang
 

(Februari 1943)
 
Budaya,
 
Th III, No. 8
 
Agustus 1954
 



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
 

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
 
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
 
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
 
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
 
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
 
Aku sekarang api aku sekarang laut
 

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
 
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
 
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
 

(1948)
 

Liberty,
 
Jilid 7, No 297,
 
1954

AKU 

Kalau sampai waktuku
 
'Ku mau tak seorang kan merayu
 
Tidak juga kau
 

Tak perlu sedu sedan itu
 

Aku ini binatang jalang
 
Dari kumpulannya terbuang
 

Biar peluru menembus kulitku
 
Aku tetap meradang menerjang
 

Luka dan bisa kubawa berlari
 
Berlari
 
Hingga hilang pedih peri
 

Dan aku akan lebih tidak perduli
 

Aku mau hidup seribu tahun lagi
 

Maret 1943


PENERIMAAN
 

Kalau kau mau kuterima kau kembali
 
Dengan sepenuh hati
 

Aku masih tetap sendiri
 

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
 
Bak kembang sari sudah terbagi
 

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
 

Kalau kau mau kuterima kembali
 
Untukku sendiri tapi
 

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
 

Maret 1943
 

HAMPA
 

kepada sri
 

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
 
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
 
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
 
Tak satu kuasa melepas-renggut
 
Segala menanti. Menanti. Menanti.
 
Sepi.
 
Tambah ini menanti jadi mencekik
 
Memberat-mencekung punda
 
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
 
Udara bertuba. Setan bertempik
 
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
 

DOA
 

kepada pemeluk teguh
 

Tuhanku
 
Dalam termangu
 
Aku masih menyebut namamu
 

Biar susah sungguh
 
mengingat Kau penuh seluruh
 

cayaMu panas suci
 
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
 

Tuhanku
 

aku hilang bentuk
 
remuk
 

Tuhanku
 

aku mengembara di negeri asing
 

Tuhanku
 
di pintuMu aku mengetuk
 
aku tidak bisa berpaling
 

13 November 1943

SAJAK PUTIH
 

Bersandar pada tari warna pelangi
 
Kau depanku bertudung sutra senja
 
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
 
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
 

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
 
Meriak muka air kolam jiwa
 
Dan dalam dadaku memerdu lagu
 
Menarik menari seluruh aku
 

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
 
Selama matamu bagiku menengadah
 
Selama kau darah mengalir dari luka
 
Antara kita Mati datang tidak membelah...
 

SENJA DI PELABUHAN KECIL
 
buat: Sri Ajati
 

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
 
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
 
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
 
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
 
menyinggung muram, desir hari lari berenang
 
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
 
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
 
menyisir semenanjung, masih pengap harap
 
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
 
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
 

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU 

Cintaku jauh di pulau,
 
gadis manis, sekarang iseng sendiri
 

Perahu melancar, bulan memancar,
 
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
 
angin membantu, laut terang, tapi terasa
 
aku tidak 'kan sampai padanya.
 

Di air yang tenang, di angin mendayu,
 
di perasaan penghabisan segala melaju
 
Ajal bertakhta, sambil berkata:
 
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
 

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
 
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
 
Mengapa Ajal memanggil dulu
 
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
 

Manisku jauh di pulau,
 
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
 

1946

MALAM DI PEGUNUNGAN
 

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
 
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
 
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
 
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
 

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
 

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
 
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
 
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
 

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
 

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
 
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
 
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
 

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
 

1949

DERAI DERAI CEMARA
 

cemara menderai sampai jauh
 
terasa hari akan jadi malam
 
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
 
dipukul angin yang terpendam
 

aku sekarang orangnya bisa tahan
 
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
 
tapi dulu memang ada suatu bahan
 
yang bukan dasar perhitungan kini
 

hidup hanya menunda kekalahan
 
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
 
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
 
sebelum pada akhirnya kita menyerah
 

1949
 
Readmore »» Biografi Chairil Anwar
Bacaan Selanjutnya - Biografi Chairil Anwar

PUTRA PAK POLISI


PUTRA PAK POLISI

            Polisi itu menjengkelkan. Wajahnya seram. Bibirnya tebal. Kedua bola matanya merah, melotot seperti kucing. Buas tampaknya. Bagai seekor harimau hutan, ia menggeram, mencengkram leherku, dan tiba-tiba …puih…,segumpal ludah bergetah menyembur ke  wajahku, polisi itu meludahi wajahku. Meludahi hatiku. Meludahi seluruh kedirianku.
            Aku tergagap. Cacian tajam itu membunuh kemanusiaanku. Mampuslah aku. Mampus dalam cengkraman alat Negara, mampus dalam jemari pelindung rakyat. Aku gemetar. Polisi itu melepaskan cengkeramanya, mengacungkan pistol kearah hidungku , dan seketika suaranya melengking. Ganas gans dan mengerikan.
            “jawab! Ayo, cepat jawab ! kalau tidak, peluru ini menembus kepalamu !”, bentakanya. Aku diam. Jantungku bergetar. Nafasku tersengal. Namun kemanusiaanku mulai berontak. Tembaklah aku. Tembuslah kepalaku. Hancurkan otakku. Sampai puas, koyaklah hati nuraniku. Aku tak munkin mengaku. Karena memang bukan aku yang melakukan itu. tarik pelatuk dan bunuhlah aku. Meskipun aku terkapar di kamar ini, dalam sel ini. Aku tetap menang. Karena memang bukan aku yang melakukan itu. aku tahu siapa pelakunya. Tapi belum waktunya aku bicara. Moncong senapan kadang menutup mata dari kebenaran. Belum waktunya. Nanti di meja sidang aku bicara. Di sana, aku merdeka berbicara dengan jujur. Aku merdeka menodongkan senjataku. Senjata kebenaran. Tidak punya pelatuk, tapi lebih seru dari pistol. Karena pelatuknya ditarik oleh hatinurani . tembaklah aku. Hancurkan batok kepalaku. Teriak batinku. Suaraku tersekap di kerongkongan. Aku menyadari keadaan. Sebuah lingkaran situasi yang mengancam. Situasi dalam kamar tahanan. Situasi di hadapan laras seorang polisi. Situasi yang memaksa aku kalah.
            “baiklah jika engkau tidak ingin mengaku”, kata polisi itu. suaranya tiba-tiba lembut bagai seorang ibu kepada anaknya. Pistolnya yang sejak tadi menempel di pucuk hidungku ditariknya perlahan-lahan, kemudian berkata, baiklah . kalau bukan engkau yang melakukan itu, munkin ada orang lain yang engkau kenal. Katakanlah supaya engkau bebas. Jangan membunuh dirimu lantaran membela orang lain. Ayo, sebut saja siapa orang itu.”
            Aku tetap diam. Gereget jantungku pelan-pelan berubah. Rasanya ada sesuatu yang meliuk-liuk dalam diriku. Ada sebuah pemberontakan dalam batinku. Haruskah aku bicara yang jujur. Haruskah aku katakan sesungguhnya bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah ……ah,…..adalah kawanku sendiri. Kawan karibku yang bernama…..ah, tidak . sungguh mati aku tidak tega mengatakan bahwa si Martin, putra Pak Polisi itu, adalah pelakunya. Dialah yang menghamili gadis itu. dan lantaran terdesak untuk mempertanggungjawabkan perbuatanya, ia membunuh gadis itu. sebutir peluru pistol, entah milik siapa, bersarang di jantungnya.***

Readmore »» PUTRA PAK POLISI
Bacaan Selanjutnya - PUTRA PAK POLISI

Love story


Love story

Musim liburan hampir berakhir di Makassar, langkahku  setengah berjingkat, memasuki perpustakaan kampus. Tujuangku saat ini, mencari buku yang bias mendongkrak nilai ujian semesteranku besok. Sudah menjadi kebiasaanku membongkar buku-buku referensi, sehari sebelum ujian. Gila, memang. Tapi munkin ini penyakit lamaku yang tidak baik kamu tiru.
Kebiasaanku yang lain, memilih perpustakaan kampus Stikes sebagai perpus langgananku. Bukan di Akper, college-ku sendiri. Selain  Aku bias cuci mata, sakalian tebar pesona, aku juga bias mendapatkan buku dengan mudah. Nggak berisik atau berebut.
Langkahku berhenti, tepat di depan meja dua cewek yang bertugas sebagai tenaga administrasi. Ada gurat lelah di mata mereka. Nggak banyak bicara, mereka masih asyik dengan daftar buku yang ada di depan meja.
excuse me, ada buku The Waning of The Middle Ages ?” tanyaku, hati-hati. Kelihatanya si pemilik tubuh jangkung dan sedikit tomboy, tak menggubrisku . tapi cewek berkacamata minus di sampingnya, langsung menoleh dan menatapku dalam-dalam.
“Bukankah kamu mahasiswa Akper ?”
“so ?”
“Mengapa tidak meminjam di perpustakaan kamu sendiri ? Ada ribuan buku di tempatmu yang bisa kamu baca. Mengapa harus ke sini ?”
Aku mengeryitkan dahi, tanda tak suka. Kalau memang  aku ingin ke Stikes, apa pedulinya ?
“Enggak ada, kan, larangan bahwa kami tidak boleh meminjam buku di sini ?”
Cewek itu mencopot kacamata yang nyaris melorot dari batang hidungnya. Tatapanya tajam,  menusuk.
“Bagiku, kamu tidak cukup pintar untuk tidak meminjam buku di sini. Anak-anak borju, memang maunya bikin aturan sendiri.”
Aku menghembuskan nafas, capek.
come on…jangan bersikap bodoh. Berikan saja buku itu. aku butuh banget nih !”
“Oke…setidaknya aku tidak sebodoh kamu…”tutur cewek itu lagi, sembari mencari nomor buku, seperti yang aku minta.
“Kamu tidak bodoh, jika kamu mau menerima ajakanku minum cappuccino di tempat favoritku, nggak jauh dari sini. Sebagai tanda terimakasihku !”bujukku lagi, membuat cewek berkaki indah itu, angkat bahu. Heran .
Entah, keberanian dari mana, membuat aku mengajak cewek yang baru kukenal, ke tempat makan langgananku. “RNB”, nggak Cuma enak cappuccino-nya. Tapi coto makassarnya cukup terkenal di mana-mana di daerah Bulukumba. Pas banget buat lidahku.
Aku langsung memilih duduk di sudut , nggak jauh dari jendela restorant yang lebar, hingga bisa memandang orang-orang yang ada di sebrang jalan.
“Aku Edi.”
cewek itu menatapku, lekat. Kelihatanya, dia belum mengenal nama besar keluargaku…
“Jenny” tuturnya, sambil memotong brownies yang kupesan tadi.
“Suka buku apa ?”
“Aku bukan mania pada satu penulis novel tertentu. Buku-buku psikologi, lebih aku suka, dari pada novel romantis yang mengurai air mata. I’m not aa romantic girl…”
Suda aku duga…”
“Kamu sendiri ?”
“Aku bukan cowok kutu buku, meski aku kuliah di Fakultas kesehatan dengan pilihan karir di bidang keperawatan. So, aku pinjam buku sehari sebelum aku ujian. Semalamam aku memilih menghabiskan waktu di depan televise, melihat perkembangan bangsa kita…’
O I see…”
“Kamu suka nonton bolla ? Besok ada pertandingan di Stadion.”
“Apa seruhnya permainan itu ?”
“Karena ada aku main di sana. Timku melawan keseblasan dari Bantaeng. Nonton ya?!” Aku nggak menunggu jawaban Jenny. Hanya beku dan bisu, setelah itu. karena kami tenggelam dalam angan masing-masing.
Kencan ? Ups. Teman-temanku satu keseblasan nggak ada yang percaya aku berani mengajak cewek buat kencang. Apalagi, aku menunjukkan kesungguhan bahwa Jenny akan datang menonton kami. Pertandingan melawan keseblasan Bantaeng, nggak begitu istimewa. Selain kemenangan yang sudah kubayangkan akan di tangan, berakhir dengan skor 7-0.
Bedanya, kali ini aku tidak pulang sendiri. Ada Jenny yang sudah berkeringat, melihat aku jatuh terduduk ketika session pertama tadi, dua penyerang Bantaeng menerjangku tiba-tiba.
Angin dingin, serasa mengigit tulang. Sumpah. Aku belum pernah merasakan dingin, sedalam ini. Apalagi usai main tadi, keringatku masi membanjir. Bbrrr…kubayankan, besok aku aku akan tergolek di pembaringan, karena terserang demam.
Jenny menentramkan hatiku, tanpa kuminta dia menggandebg tanganku. Kami memilih berjalan kaki, menikmati suasana di taman yang indah ini, ketika bulan sudah berbunyi di balik awan yang berkabut.
“maaf, aku nggak minta ijinmu dulu…” kataku tersendat , ketika tampa sadar, aku sudah mengecup dahinya. Ada gurat terkejut, di wajah oval itu. namun Jenny lagi-lagi hanya mengulum senyum…
It’s okey…Sudah malam, kita munkin bertemu lagi di lain kesempatan. Jika memang berjodoh…” sapanya enteng, sambil membuka pintu gerbang rumahnya.
Langit masih gelap, ketika aku menyusuri jalan pulang. Ada lelah dan jenuh menyergapku . yang ada di otakku kini hanya satu kata. Istirahat.
Pertandingan melawan Putra bangsa, timku menelan kekalahan 3-6, plus plipisku yang robek karena beradu dengan pemain lawan yang patriotis dan bertubuh kekar. Aku yang salah sih, mengejek mereka, hingga mereka berang, sedihnya lagi, nggak ada yang ngebelain aku, bahkan teman-teman satu genk pun.
Dedy Baskoro, ayahku, pun tidak membantu. Beliau selali dengan gayanya yang khas, setiap bertemu  aku saat makan malam, hanya mengatakan “Apa kabar” dan “Ada yang bisa dibantu ?” tidak lebih. Hanya Jenny yang mampu membuat emosiku terkendali.
Cewek cerdas yang santung itu, mengajakku ke konser band Ungu di Stadium Bulukumba. Dia bermain Bas, luar biasa. Aku belum pernah melihat , di balik kelembutan dia, tersimpan bakat misiknya.
“Permainanmu luar biasa…”
“Terima kasih. Aku akan belajar lagi dari tante aku di Bandung, andai aku bisa seperti dia…?”
“Bandung ? Kamu mau ke sana ?” tanyaku, kaget. Ada rasa takut kehilangan, tiba-tiba menyergapku, membuat persendianku terasa lemas seketika.
“Nggak perlu panic. Toh kita juga akan terpisa juga, ketika lulus… sebentar lagi, kamu pindah ke fakultas kedokteran.”
“Tapi aku nggak mau kamu jauh dariku…aku ingin menikahimu.”
Mata bulat berwarna kebiruan itu, menatapku lekat. Ada genangan air mata di sana. “sungguh ? Kita masih punya banyak waktu untuk berubah pikiran. Siapa…”
Kata-kata Jenny belum selesai, ketika aku mencium lembut dahinya, penuh kasih. Menit berikutnya, kami tenggelam dalam kebisuan. Hanya lampu-lampu sepanjang jalan pantai Merpati, yang membuat hati kami menari-nari. Entah, siapa yang sanggup membaca, apa yang berkecamuk di hati kami berdua.
Pernikahan kami di selengarakan di Hotel Clarion, sebuah Hotel di Makassar.
Aku bacakan sajak yang merupakan ungkapan hatiku yang paling dalam dengan suara bergetar…
Kupersembahkan cintaku padamu
Lebih mulia dari pada harta
Kupersembahkan diriku padamu
Lebih berharga dari pada segalanya
Sudikah kamu berikan dirimu padaku ?
Sudikah kamu berkelana bersamaku ?
Akankah kita ikrarkan janji sehidup semati ?
Bulan madu kami habiskan berdua di Resort Ammatoa tepatnya di pantai Bira.
Tebakanku, kami akan dikaruniai putra meleset, Meleset. Waktu yang membuat kesabaran kami habis, hingga Dr. Antonio, dokter langganan keluarga, menangani Jenny siang itu.
Ada harap-harap cemas yang tak mampu kusembunyikan. Aku takut, jika yang kukhawatirkan terjadi. Bahwa aku, tidak mampu memberi anak bagi keluarga besar kami…
“kami mendeteksi, ada leukemia di sel darah Jenny…”
Serasa di sambar petir di siang bolong. Aku mengejapkan mata , tak percaya. Ada tetes air mata yang berusaha aku sembunyikan dari Jenny, ketika aku menemuinya di ruang tunggu. Aku tidak boleh cengeng, namun batinku bergolak. Tanganku yang kusembunyikan di saku celana, mencengkram erat sapu tanganku.
‘Aku siap Edy. Separah apa pun hasil diagnose dokter…”
Pasrah, nada suara Jenny. Aku tak bisa menyembunyikan kepedihanku. Kupeluk dan kudekap dia dalam-dalam, lantas…kami hanya bisa mengeluarkan tangis dalam kebisuan. Sakit.
Entah mengapa kini aku mulai mencari-cari di mana Tuhan. Aku mulai menghitung waktu, dari hari ke hari, menit, detik hingga setiap desahan nafas, sungguh berharga dan berarti. Apalagi bagi Jenny, yang kini semakin lemah…hinggah sore itu, Jenny baru saja tersadar dari tidurnya. Banyak selang infuse, oksigen, di sekitar tubuhnya. Sementara matanya tak lepas menatapku.
            “Tolong peluk aku…” pintanya lirih.
            Aku mendekati pembaringanya. Lantas aku naik ke pembaringan, mendekapnya hati-hati, aku takut memecahkan Kristal yang aku genggam…
            “Terima kasih…” tuturnya sambil mengatupkan mata. Itulah terakhir kalinya kulihat Jenny tersenyum. Karena detik itu pula, selang-selang infuse dan oksigen, tidak berguna lagi. Jenny telah pergi…

 ( Erick segal, di referensi kembali oleh Zul )

Saat kudidekatmu, bisik hati kecilku bertanya,
Benarkah yang kau rasa,
Hanya diriku yang kau puja.
Akankah ini selamanya, ataukah hanya semata
( awal yang indah )

Readmore »» Love story
Bacaan Selanjutnya - Love story