Surat Absurd dari Bulukumba Untuk Bapak Presiden RI
kepada yang terhormat
Bapak Presiden Republik
Indonesia
di
Jakarta
salam sejahtera untuk
kita semua, semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan dan senantiasa
mengevaluasi ibadah aktifitas keseharian kita, amin
Bapak Presiden SBY yang
saya hormati, nama saya Andhika DM. saya seorang penduduk di sebuah desa
yang bernama Bulukumba. Desa kecil di sudut kaki bagian bawah Pulau
Sulawesi. Jika bapak pernah mendengar nama perahu tradisional Pinisi, di
desa kamilah asal muasal perahu tradisional itu.
Bapak presiden, di desa
kami sedang ada pertunjukan komedi tapi, bukan di atas panggung. tapi
sebuah pertunjukan komedi yang dipertontonkan oleh kekuasaan, terkait dengan
"Adipura". Piagam dan "Piala" adipura menjadi sangat
populer dibicarakan di kampung saya ini. tentunya, selain tumpukan
persoalan lain yang berkenaan dengan persoalan Korupsi alkes Rumah sakit,
Konflik Agraria PT Lonsum yang telah puluhan tahun, dan juga persoalan KUR yang
tak jelas ujung pangkalnya.
Bapak Presiden yang
terhormat, terkait dengan Adipura ini, entah siapa dewan juri atau tim
penilainya. kok bisa-bisanya kampung kami ini dapat piagam Adipura. sungguh
ini sangat menyakiti perasaan kami. betapa tidak, desa yang penuh dengan
sapi berkeliaran saat malam dan pagi hari, sampah bertumpuk sana-sini, pasar
yang becek, bau dan kotor, sudut-sudut kota yang berlumut tak terurus, selokan
yang berair hitam dan menjijikkan, kok bisa-bisanya dapat piagam Adipura? apakah
ini sebuah kesengajaan? atau jangan-jangan, tim penilai itu rabun dan lupa
bawa kaca mata saat mengunjungi kota kami? ini sungguh menyakitkan hati
kami sebagai rakyat.
Bapak Presiden, sungguh,
kami mulai tidak percaya dengan adipura. kami tidak percaya dengan
prestasi-prestasi itu. jika bapak berpikir saya berdusta, saya memiliki
banyak data, Foto dan bukti lain yang menyatakan dengan terang bahwa kota kami
belum layak mendapat embel-embel adipura. Harusnya, bapak mengajarkan
dengan baik tim-tim juri yang bapak kirim itu. bekali mereka dengan empati
kemanusiaan, agar tak menyakiti sisi kemanusiaan kami dengan memberikan penghargaan
adipura ke Bulukumba / kampung kami, sementara kami tahu bahwa itu adalah
sebuah dusta kemanusiaan.
Tim juri yang bapak
kirim, harusnya tahu, betapa di publik space Bulukumba, bahkan di kantor-kantor
atau gedung pemerintah, toiletnya sungguh menyedihkan. itu pun jika ada. bayangkan
pak presiden, di kota yang banyak tempat nongkrongnya itu, tolet umum tak
tersedia. bayangkanlah bau pesing yang ada, sebab orang-orang yang
nongkrong itu akan pipis sembarangan. belum lagi, hewan piaraan seperti sapi
yang senantiasa berkeliling kota, buang air besar di tengah jalan.
Bapak presiden, kami ini
orang kecil yang jauh dari istana. janganlah lagi menambah sakit hati kami
atas kekecewaan kami kepada pemerintah sampai di ruang terkecil dalam hal
pelayanan publik, yang menghadirkan kekecewaan dan ketidak percayaan dengan
"adipura itu".
Bapak presiden,
memberikan kami piagam "Adipura" dengan realitas ini, adalah sebuah
hinaan kemanusiaan bagi kami. itu sama saja dengan mengiris lengan hati
kami, lalu luka itu bapak tetesi dengan jeruk dan garam serta cabe yang pedas. Sungguh
sangat absurd adipura itu.
Menuliskan surat ini,
bapak presiden harus tahu, kami merasakan kepedihan yang luar biasa, kekecewaan
yang menggunung dan rasa sakit hati tiada tara. Rasa sakit hati kami
kepada bapak sungguh sangat tidak saya harapkan akan menjadi bola salju yang
akan terus menggelinding dan mejadi bola-bola raksasa kemanusiaan yang akan
menyedot dan meluluhlantakkan apa saja yang menghalanginya.
kami hanyalah rakyat
kecil. kami hanya punya harapan. harapan itu telah kami hamparkan
sebagai karpet merah untuk bapak jadikan sebagai titian dan alas kaki dalam
berjalan. bapak harus melangkah hati-hati.jika saja harapan tu sobek atau
pecah, kami tidak akan memiliki apa-apa lagi. ketika itu terjadi, mungkin
hukum rimba akan tumbuh subur di hati kami, sebab keringat dan air mata kami
akan memupuknya dengan sangat subur. Airmata dan keringat kesedihan kami
akan menjadi humus-humus dendam terhadap kekuasaan.
Bapak presiden
mata dan hati kami tidak
buta. kok bisa-bisanya bapak memberikan penghargaan kota bersih ke kota
kami, sementara siang malam kami bernapas di sini menyaksikan mani. saya
yakin bapak tidak suka berdusta.bapak tahu kan kemana pendusta itu akan
ditempatkan di akhirat? dia akan ditempatkan dalam hati kami yang
tersakiti. Adipura itu akan bersaksi di akhirat!
wassalam
dirimbun pohon sajak
yang luka
Andhika Daeng Mammangka