Love
story
Musim
liburan hampir berakhir di Makassar, langkahku
setengah berjingkat, memasuki perpustakaan kampus. Tujuangku saat ini,
mencari buku yang bias mendongkrak nilai ujian semesteranku besok. Sudah
menjadi kebiasaanku membongkar buku-buku referensi, sehari sebelum ujian. Gila,
memang. Tapi munkin ini penyakit lamaku yang tidak baik kamu tiru.
Kebiasaanku
yang lain, memilih perpustakaan kampus Stikes sebagai perpus langgananku. Bukan
di Akper, college-ku sendiri. Selain Aku bias cuci mata, sakalian tebar pesona, aku
juga bias mendapatkan buku dengan mudah. Nggak berisik atau berebut.
Langkahku
berhenti, tepat di depan meja dua cewek yang bertugas sebagai tenaga
administrasi. Ada gurat lelah di mata mereka. Nggak banyak bicara, mereka masih
asyik dengan daftar buku yang ada di depan meja.
“excuse me, ada buku The Waning of The Middle Ages ?” tanyaku, hati-hati. Kelihatanya si
pemilik tubuh jangkung dan sedikit tomboy,
tak menggubrisku . tapi cewek berkacamata minus di sampingnya, langsung
menoleh dan menatapku dalam-dalam.
“Bukankah
kamu mahasiswa Akper ?”
“so
?”
“Mengapa
tidak meminjam di perpustakaan kamu sendiri ? Ada ribuan buku di tempatmu yang
bisa kamu baca. Mengapa harus ke sini ?”
Aku
mengeryitkan dahi, tanda tak suka. Kalau memang
aku ingin ke Stikes, apa pedulinya ?
“Enggak
ada, kan, larangan bahwa kami tidak boleh meminjam buku di sini ?”
Cewek
itu mencopot kacamata yang nyaris melorot dari batang hidungnya. Tatapanya
tajam, menusuk.
“Bagiku,
kamu tidak cukup pintar untuk tidak meminjam buku di sini. Anak-anak borju,
memang maunya bikin aturan sendiri.”
Aku
menghembuskan nafas, capek.
“come on…jangan bersikap bodoh. Berikan
saja buku itu. aku butuh banget nih !”
“Oke…setidaknya
aku tidak sebodoh kamu…”tutur cewek itu lagi, sembari mencari nomor buku,
seperti yang aku minta.
“Kamu
tidak bodoh, jika kamu mau menerima ajakanku minum cappuccino di tempat favoritku, nggak jauh dari sini. Sebagai tanda
terimakasihku !”bujukku lagi, membuat cewek berkaki indah itu, angkat bahu.
Heran .
Entah,
keberanian dari mana, membuat aku mengajak cewek yang baru kukenal, ke tempat
makan langgananku. “RNB”, nggak Cuma enak cappuccino-nya.
Tapi coto makassarnya cukup terkenal di mana-mana di daerah Bulukumba. Pas
banget buat lidahku.
Aku
langsung memilih duduk di sudut , nggak jauh dari jendela restorant yang lebar,
hingga bisa memandang orang-orang yang ada di sebrang jalan.
“Aku
Edi.”
cewek
itu menatapku, lekat. Kelihatanya, dia belum mengenal nama besar keluargaku…
“Jenny”
tuturnya, sambil memotong brownies yang
kupesan tadi.
“Suka
buku apa ?”
“Aku
bukan mania pada satu penulis novel tertentu. Buku-buku psikologi, lebih aku
suka, dari pada novel romantis yang mengurai air mata. I’m not aa romantic girl…”
“Suda aku duga…”
“Kamu
sendiri ?”
“Aku
bukan cowok kutu buku, meski aku kuliah di Fakultas kesehatan dengan pilihan
karir di bidang keperawatan. So, aku pinjam buku sehari sebelum aku ujian.
Semalamam aku memilih menghabiskan waktu di depan televise, melihat
perkembangan bangsa kita…’
“O I see…”
“Kamu
suka nonton bolla ? Besok ada pertandingan di Stadion.”
“Apa
seruhnya permainan itu ?”
“Karena
ada aku main di sana. Timku melawan keseblasan dari Bantaeng. Nonton ya?!” Aku
nggak menunggu jawaban Jenny. Hanya beku dan bisu, setelah itu. karena kami
tenggelam dalam angan masing-masing.
Kencan
? Ups. Teman-temanku satu keseblasan nggak ada yang percaya aku berani mengajak
cewek buat kencang. Apalagi, aku menunjukkan kesungguhan bahwa Jenny akan
datang menonton kami. Pertandingan melawan keseblasan Bantaeng, nggak begitu
istimewa. Selain kemenangan yang sudah kubayangkan akan di tangan, berakhir
dengan skor 7-0.
Bedanya,
kali ini aku tidak pulang sendiri. Ada Jenny yang sudah berkeringat, melihat
aku jatuh terduduk ketika session pertama
tadi, dua penyerang Bantaeng menerjangku tiba-tiba.
Angin
dingin, serasa mengigit tulang. Sumpah. Aku belum pernah merasakan dingin,
sedalam ini. Apalagi usai main tadi, keringatku masi membanjir.
Bbrrr…kubayankan, besok aku aku akan tergolek di pembaringan, karena terserang demam.
Jenny
menentramkan hatiku, tanpa kuminta dia menggandebg tanganku. Kami memilih
berjalan kaki, menikmati suasana di taman yang indah ini, ketika bulan sudah
berbunyi di balik awan yang berkabut.
“maaf,
aku nggak minta ijinmu dulu…” kataku tersendat , ketika tampa sadar, aku sudah
mengecup dahinya. Ada gurat terkejut, di wajah oval itu. namun Jenny lagi-lagi
hanya mengulum senyum…
“It’s okey…Sudah malam, kita munkin
bertemu lagi di lain kesempatan. Jika memang berjodoh…” sapanya enteng, sambil
membuka pintu gerbang rumahnya.
Langit
masih gelap, ketika aku menyusuri jalan pulang. Ada lelah dan jenuh menyergapku
. yang ada di otakku kini hanya satu kata. Istirahat.
Pertandingan
melawan Putra bangsa, timku menelan kekalahan 3-6, plus plipisku yang robek karena
beradu dengan pemain lawan yang patriotis dan bertubuh kekar. Aku yang salah
sih, mengejek mereka, hingga mereka berang, sedihnya lagi, nggak ada yang
ngebelain aku, bahkan teman-teman satu genk pun.
Dedy
Baskoro, ayahku, pun tidak membantu. Beliau selali dengan gayanya yang khas,
setiap bertemu aku saat makan malam,
hanya mengatakan “Apa kabar” dan “Ada yang bisa dibantu ?” tidak lebih. Hanya
Jenny yang mampu membuat emosiku terkendali.
Cewek
cerdas yang santung itu, mengajakku ke konser band Ungu di Stadium Bulukumba.
Dia bermain Bas, luar biasa. Aku belum pernah melihat , di balik kelembutan
dia, tersimpan bakat misiknya.
“Permainanmu
luar biasa…”
“Terima
kasih. Aku akan belajar lagi dari tante aku di Bandung, andai aku bisa seperti
dia…?”
“Bandung
? Kamu mau ke sana ?” tanyaku, kaget. Ada rasa takut kehilangan, tiba-tiba
menyergapku, membuat persendianku terasa lemas seketika.
“Nggak
perlu panic. Toh kita juga akan terpisa juga, ketika lulus… sebentar lagi, kamu
pindah ke fakultas kedokteran.”
“Tapi
aku nggak mau kamu jauh dariku…aku ingin menikahimu.”
Mata
bulat berwarna kebiruan itu, menatapku lekat. Ada genangan air mata di sana.
“sungguh ? Kita masih punya banyak waktu untuk berubah pikiran. Siapa…”
Kata-kata
Jenny belum selesai, ketika aku mencium lembut dahinya, penuh kasih. Menit
berikutnya, kami tenggelam dalam kebisuan. Hanya lampu-lampu sepanjang jalan
pantai Merpati, yang membuat hati kami menari-nari. Entah, siapa yang sanggup
membaca, apa yang berkecamuk di hati kami berdua.
Pernikahan
kami di selengarakan di Hotel Clarion, sebuah Hotel di Makassar.
Aku
bacakan sajak yang merupakan ungkapan hatiku yang paling dalam dengan suara
bergetar…
Kupersembahkan cintaku padamu
Lebih mulia dari pada harta
Kupersembahkan diriku padamu
Lebih berharga dari pada segalanya
Sudikah kamu berikan dirimu padaku ?
Sudikah kamu berkelana bersamaku ?
Akankah kita ikrarkan janji sehidup
semati ?
Bulan
madu kami habiskan berdua di Resort Ammatoa tepatnya di pantai Bira.
Tebakanku,
kami akan dikaruniai putra meleset, Meleset. Waktu yang membuat kesabaran kami
habis, hingga Dr. Antonio, dokter langganan keluarga, menangani Jenny siang
itu.
Ada
harap-harap cemas yang tak mampu kusembunyikan. Aku takut, jika yang
kukhawatirkan terjadi. Bahwa aku, tidak mampu memberi anak bagi keluarga besar
kami…
“kami
mendeteksi, ada leukemia di sel darah Jenny…”
Serasa
di sambar petir di siang bolong. Aku mengejapkan mata , tak percaya. Ada tetes
air mata yang berusaha aku sembunyikan dari Jenny, ketika aku menemuinya di
ruang tunggu. Aku tidak boleh cengeng, namun batinku bergolak. Tanganku yang
kusembunyikan di saku celana, mencengkram erat sapu tanganku.
‘Aku
siap Edy. Separah apa pun hasil diagnose dokter…”
Pasrah,
nada suara Jenny. Aku tak bisa menyembunyikan kepedihanku. Kupeluk dan kudekap
dia dalam-dalam, lantas…kami hanya bisa mengeluarkan tangis dalam kebisuan.
Sakit.
Entah
mengapa kini aku mulai mencari-cari di mana Tuhan. Aku mulai menghitung waktu,
dari hari ke hari, menit, detik hingga setiap desahan nafas, sungguh berharga
dan berarti. Apalagi bagi Jenny, yang kini semakin lemah…hinggah sore itu,
Jenny baru saja tersadar dari tidurnya. Banyak selang infuse, oksigen, di
sekitar tubuhnya. Sementara matanya tak lepas menatapku.
“Tolong peluk aku…” pintanya lirih.
Aku mendekati pembaringanya. Lantas aku naik ke
pembaringan, mendekapnya hati-hati, aku takut memecahkan Kristal yang aku
genggam…
“Terima kasih…” tuturnya sambil mengatupkan mata. Itulah
terakhir kalinya kulihat Jenny tersenyum. Karena detik itu pula, selang-selang
infuse dan oksigen, tidak berguna lagi. Jenny telah pergi…
( Erick segal, di referensi kembali oleh Zul )
Saat kudidekatmu, bisik hati kecilku
bertanya,
Benarkah yang kau rasa,
Hanya diriku yang kau puja.
Akankah ini selamanya, ataukah hanya
semata
( awal yang indah )