Sabtu, 27 Oktober 2012

WARISAN KEMERDEKAAN SEKS DARI MERPATI


WARISAN KEMERDEKAAN SEKS DARI MERPATI
            Kali ini, toko kita bukan manusia. Seekor merpati. Merpati cantik milik tetaangga. Bulunya indah. Putih berbintik hitam. Kalu tidak salah, dialah yang palingcantik diantara sekian puluh betina lainya. Wajarlah jadi rebutan. Aku tidak cemburu sebab ia bukan sainganku. Aku bukan merpati. Aku Cuma seorang manusia.
            Merpati itu memang cantik. Idaman bagi si jantan. Pergaulanya luwes, tidak pernah minder dan malu-malu. Sikapnya lincah, gallat, pandai merayu. Dia juga senang dirayu. Karena itu, sejak lama tidak perawan. Namanya juga burung dara, tapi ia tidak kenal selaput dara. Dunianya merdeka. Hanya kenal satu hukum alam. Undang-undang perkawinan, mana munkin ia tau. Aku sendiri tidak peduli. Karena aku belum kawin.
            Merpati itu punya seekor jantan. Setiap pagi kulihat mereka main cinta. Kalau tidak di atap rumah, mereka bercumbu di atas pagar. Caranya mirip-mirip manusia. Teknik cumbu-rayu pun mereka miliki. Bagai cerita dalam novel Nick Carter. Sentuhan harus punya sasaran. Sentuhan mesti berproses. Sentuhan tidak boleh kehilangan irama. Itulah seni. Seni warisan dari alam. Seni yang harus diberi suaka atas kehormatanya. Seni yang harus dibaringkan di atas formalitas etika kemanusiaan. Tapi itu bagi manusia.
            Tadi pagi, kedua merpati itu bercumbu lagi. Tidak di atap rumah. Atau di atas pagar. Tetapi di sini, di dekat jendela, tepat di depan mataku. Mereka bercumbu seperti biasa. Saling menikmati kemerdekaan mereka. Aku piker, ini keterlaluan. Sepertinya tidak ada kehidupan lain di sekelilingnya. Atau barangkali mereka juga berpikir bahwa toh aku Cuma seorang manusia ? atau munkin aku pula yang kelewat nyinyir mencampuri urusan mereka ?
            Di tengah keasyikan bercumbu, tiba-tiba kedua merpati itu tersentak. Mereka tampaknya menyadari kehadiranku. Sejenak mereka menghentikan permainanya kemudian serentak mengepakkan sayap. Terbang menuju kabel listrik, tidak jauh dari jendela. Di sana keduanya bertengger memandang tajam ke arahku. Ada gurat kebencian dari matanya. Sepertinya mereka berkata kepadaku:
“wahai manusia ! tak perlu merasa iri pada kami
Bukankah kami telah mewariskan kepadamu
Bagaimana bercinta di alam bebas?!”
~blk 1980~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar