Puisi, Pantun dan Teka-teki suku Bugis
Oleh M aan Mansyur
KEBESARAN epos-mitos La Galigo telah membunuh banyak genre sastra klasik Bugis.
La Galigo yang diduga sebagai karya sastra terpanjang dalam sejarah sastra
dunia itu terlalu banyak menyedot perhatian kritikus, peminat dan peneliti
seni. Mereka, para peminat dan peneliti seni itu, lupa bahwa begitu banyak
karya sastra Bugis lain yang menarik untuk diperbincangkan.
BANYAKNYA ragam genre sastra Bugis bisa dibaca dalam satu bab
The Bugis, buku hasil penelitian Christian Pelras selama puluhan tahun di tanah
Bugis. Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas
karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan Roger
Tol di jurnal KITLV edisi 148-1 (1992: 82-102) memaksa tulisan ini lahir. Roger
Tol membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, dalam tulisan tersebut. Tulisan
ini akan membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni élong
maliung bettuanna, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar
bertemu jawabannya. Menurut Salim (1990:3-5), sedikitnya ada 14 jenis élong
yang bisa dibedakan menurut isi (content), peristiwa (occasion) di mana lagu
itu nyanyikan dan terakhir sifat-sifat formalnya (formal peculiarities).
Ada élong yang secara khusus membicarakan perihal keluarga,
agama dan hiburan semata. Sejumlah lainnya dipentaskan pada peristiwa-persitiwa
khusus, semisal élong madduta (lagu melamar) dan élong osong (lagu perang). Ada
juga élong, seperti puisi klasik Jepang, haiku, yang terdiri dari aturan-aturan
baris dan jumlah silabel. Lainnya, terdapat élong yang rangkaian huruf awalnya
membentuk nama-nama hari. Keunikan-keunikan itulah yang membuat élong bisa
menjadi media untuk melakukan permainan bahasa seperti yang juga akan dibahas
dalam tulisan ini. Macam-macam élong bisa ditemukan dalam beberapa buku,
beberapa di antaranya adalah Salim (1969-71, 1990), Sikki (1978:277-323), dan
paling komprehensif adalah koleksi élong yang dikumpulkan oleh pionir pengkaji
Bugis dan Makassar, Matthes (1872a:370-409, 1883) .
Tak berbeda dengan pantun, élong sekaligus bisa menjadi sastra
lisan dan tulisan. Nama élong (secara harafiah berarti ‘lagu’) sendiri
menunjukkan bahwa puisi ini awalnya adalah sastra lisan. Dalam sejarahnya
kadang-kadang élong memang dipertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan
instrumen seperti biolin dan suling, meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa
(Sikki, 1978:xi). Dulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis
lomba—sambil berpesta pora minum tuak dan makan melimpah.
Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis,
élong masih digunakan dalam prosesi melamar, di mana dua kelompok,
masing-masing dari pihak laki dan perempuan, saling melempar bait-bait élong
hingga hadirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar
menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Hal
seperti itu tak lagi bisa ditemukan di daerah Bugis sekarang ini. Hampir
selalu, status dan harta menjadi faktor paling menentukan diterima atau
tidaknya sebuah lamaran. Di daerah Bone, Pinrang dan Sidrap, misalnya, orang
tua seorang gadis bisa saja meminta uang ratusan juta sebagai syarat
pernikahan.
Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung
NAMPAKNYA seperti dikatakan oleh dua baris akhir sebuah soneta Shakespeare, so
long as men can breathe or eyes can see,/so long lives this, and this gives
lives to thee, orang Bugis sejak lama telah menyadari signifikansi puisi.
Misalnya saja dengan membuat aturan-aturan tertentu untuk memahami sebuah bait
élong maliung bettuanna. Aturan-aturan khusus itulah yang membuat genre puisi
ini menjadi sangat unik dan menarik. Tidak saja dalam élong maliung bettuanna,
tetapi begitu banyak karya-karya penting, pendek maupun panjang, ditulis
menggunakan puisi.
Tak banyak peminat dan sarjana sastra yang membahas jenis puisi
élong maliung bettuanna mungkin dikarenakan dua faktor penting yang sama-sama
susah dipahami; matra dan archaic vocubulary yang digunakan. Secara harafiah,
élong maliung bettuanna berarti ‘lagu yang dalam maknanya’ (maliung berarti
‘dalam’ dan bettuanna berarti ‘artinya’ atau ‘maknanya’). Dengan kata lain,
élong ini adalah puisi dengan makna tersembunyi. Sebagaimana jenis élong lain,
élong maliung bettuanna pun menggunakan simbol, matra dan bentuk khas. Tetapi
jenis élong ini memiliki satu perbedaan yakni penggunaan crypto-language yang
sangat khas yang disebut Basa to Bakke’.
Basa to Bakke’ secara harafiah berarti ‘bahasa orang-orang
Bakke’’. Sebenarnya penamaan ini merujuk kepada seseorang bernama Datu Bakke’,
Pangeran dari Bakke’, yang dikenang karena kecerdasan dan keintelektualannya.
Nama orang ini banyak disebut-sebut dalam literatur sejarah Bugis, utamanya
Soppeng. Bakke’ sendiri adalah nama sebuah daerah di Soppeng, Sulawesi Selatan.
Bisa terjadi kesalahpengertian di sini, sebab seolah-olah ada bahasa lain
selain bahasa Bugis yang digunakan dalam puisi Bugis ini. Sehingga sesungguhnya
Basa to Bakke lebih cocok diartikan sebagai permainan bahasa Bakke’.
Basa to Bakke’ menjadi ciri khas dalam puisi teka-teki Bugis
atau élong maliung bettuanna ini. Sangat berlainan dengan pantun teka-teki yang
hanya menggunakan simbol untuk menyembunyikan jawaban, teka-teki élong maliung
bettuanna tersembunyi di balik tiga lapis sarung. Untuk tiba pada makna
sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tiga lapis sarung itu
harus disingkap satu per satu.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk di hidung ?
Bandingkan pantun di atas dengan sebuah teka-teki a la puisi
Bugis yang dikutip dari Tol dkk (1992:85) berikut ini:
Kégana mumaberrekkeng,
buaja bulu’édé,
lompu’ walennaé?
(Mana lebih kau suka,
buaya gunung,
atau lumpur sungai?)
Tentu tak susah menemukan jawaban teka-teki pantun di atas.
Pantun itu adalah teka-teki Budi di buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk murid
Kelas III Sekolah Dasar zaman orde baru. Tetapi bagaimana menemukan ‘jawaban’
teka-teki Bugis di atas? Sebenarnya puisi itu ingin menyampaikan makna: ‘mana
lebih kau suka, perempuan cerdas atau perempuan cantik?’.
Bagi yang paham aksara Bugis, tentu masih ingat bahwa aksara
Bugis memiliki beberapa keunikan dibandingkan, misalnya, dengan aksara Latin.
Aksara Bugis, sebagaimana kebanyakan aksara di Asia, memiliki kecacatan.
Kekurangan yang sekaligus bisa jadi kelebihan itu di antaranya adalah tidak
adanya huruf mati (final velar nasals), glottal stop, dan konsonan rangkap
(geminated consonants). Aksara Bugis, nyaris sama dengan aksara Jepang, setiap
hurufnya adalah satu suku kata (syllabel). Satu silabel dalam aksara Bugis bisa
dibaca dengan berbagai cara. Contohnya, huruf untuk silabel ‘pa’ bisa saja
dibaca /pa/, /ppa/, /pang/, /ppang/, /pa’/, atau /ppa’/. Keunikan aksara Bugis
inilah yang dieksplorasi oleh permainan Basa to Bakke’ dalam élong maliung
bettuanna.
Dalam satu élong yang disebutkan tadi, sarung pertama yang harus
disingkap untuk menemukan jawabannya telah dilakukan dengan memperlihatkan arti
puisi itu. Langkah pertama itu adalah mengidentifikasi pernyataan (frase). Ada
dua frase dalam puisi itu yang harus diperhatikan, buaja bulue’édé dan lompu’
walennaé. Buaja bulu’édé berarti ‘buaya gunung’ dan lompu’ walennaé berarti ‘lumpur
sungai’.
Setelah mengidentifikasi pernyataan, langkah kedua adalah
menemukan apa rujukan dari frase yang telah ditemukan. Dalam penyingkapan
sarung kedua ini, memang sangat erat kaitannya dengan pengetahuan dan alam
pikiran budaya Bugis. Buaja bulu’édé (buaya gunung) dalam budaya Bugis merujuk
kepada macang (macan) dan lompu’ walannaé (lumpur sungai) menunjuk kepada
kessi’ (pasir).
Jika hanya sampai di sini, puisi itu akan berarti ‘mana yang
lebih kau suka, macan atau pasir?’ Tentulah ini akan menjadi sebuah pernyataan
yang tidak logis. Tetapi memang bukanlah itu yang sesungguhnya ingin
disampaikan puisi tersebut. Masih ada satu lapis sarung yang harus
disingkapkan. Di tahapan inilah permainan bahasa tadi digunakan. Dalam tulisan
aksara Bugis, kata macang (macan) sama dengan macca’ (cerdas) dan kessi’
(pasir) sama dengan kessing (elok atau cantik). Masing-masing ditulis /ma-ca/
(ingat, tak ada final velar nasals dan geminated consonant dalam aksara Bugis)
dan /ke-si/ (ingat juga tak ada glottal stop).
Akhirnya makna puisi itu menjadi ‘mana yang lebih kau suka,
(perempuan) cerdas atau (perempuan) cantik?’.
Perhatikan satu contoh lagi berikut ini:
Gellang riwata’ majjékko,
Anré-anréna to Menre’é,
aténa unnyié.
(Tembaga melengkung di ujung,
makanan orang Mandar,
hati kunyit.)
Puisi teka-teki yang berarti ‘aku mencintaimu’ ini bisa
disingkap jawabannya dengan cara yang sama. Gellang riwata’ majjékko merujuk
kepada méng (kail), anré-anréna to Menre’é merujuk kepada loka (pisang)—konon
Orang Bugis dulu menganggap makanan pokok orang Mandar adalah pisang, dan aténa
unnyié merujuk kepada ridi (kuning). Jika tiga kata itu dituliskan dalam aksara
Bugis akan menjadi /me-lo-ka-ri-di/. Rangkaian huruf ini bisa juga dibaca mélo’
ka ridi yang artinya ‘aku mencintaimu’.
Tiga lapis sarung itu bisa diuraikan lebih rinci seperti
berikut; sarung pertama, mengenali frase yang menyimpan kiasan atau sampiran
dan bunyi. Dalam puisi di atas, setiap barisnya menyimpan masing-masing satu
frase untuk mengenali sampiran itu; gellang riwata majjékko, anré-anréna to
Menre’é, dan aténa unnyié. Sampiran dari frase itu, secara berurutan
masing-masing; méng (kail), loka (pisang), dan ridi (kuning). Lapis kedua
adalah bunyi méng, loka, dan ridi. Bunyi tiga kata itu membawa kita ke lapis
sarung selanjutnya untuk menemukan makna (isi), bunyi meng dalam aksara Bugis
ditulis /me/, bunyi loka ditulis /lo-ka/, dan bunyi ridi ditulis /ri-di/. Untuk
menemukan makna élong semua bunyi itu dirangkai menjadi /me-lo-ka-ri-di/.
Rangkaian bunyi itu jika dibaca menjadi mélo’ka ridi yang maknanya ‘aku
mencintaimu’.
Jika dalam pantun baris pertama-kedua adalah sampiran dan baris
ketiga-keempat adalah isi, maka dalam élong maliung bettuanna bunyi (lapis
kedua) yang menjadi sampiran sekaligus petunjuk untuk masuk ke lapis
selanjutnya yaitu isi.
Jika disederhanakan, rumus tiga lapis sarung untuk menyingkap
makna élongmaliung bettuanna di atas bisa menjadi: (1) frase, (2) bunyi, dan
(3) makna.
Lihat contoh berikut ini:
Inungeng mapekke’-pekke’
balinna ase’édé,
bali ulu balé.
(Minuman pekat,
kebalikan atas,
kebalikan kepala ikan.)
Setelah melalui proses penyingkapan makna, puisi ini berarti
’saya tak suka padamu’. Makna itu ditemukan dari rangkaian kata téng, awa, dan
ikko yang jika dituliskan dengan aksara Bugis menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/, ‘aku
tidak mau atau benci padamu’. Frase élong itu adalah inungeng mapekke-pekke,
balinna ase’édé, dan bali ulu balé. Bunyi yang dihasilkan frase itu adalah téng
(teh), awa (bawah), dan ikko (ekor). Bunyi ini jika dituliskan dalam aksara
Bugis akan menjadi /te-a-wa-(r)i-ko/. Rangkaian aksara Bugis itu bisa juga
terbaca téawa (r)iko, ‘aku tak suka padamu’.
Vopel (1967:3) mengatakan bahwa kemungkinan puisilah bahasa
paling rumit di dunia ini. Disebut paling rumit karena puisi menghendaki
kepadatan (compactness) dalam pengungkapan. Kepadatan ini tidak hanya tercermin
lewat kata-kata yang memiliki bobot makna yang berdaya jangkau lebih luas
ketimbang bahasa sehari-hari. Kepadatan juga berperan sebagai pembangun dimensi
lapis kedua seperti membangun kesan atau efek imagery, tatanan ritmis di tiap
baris, membentuk nada suara sebagai cermin sikap penulis semisal sinis, ironis,
atau hiperbolis terhadap pokok persoalan yang diangkat. Dan yang lebih penting
juga adalah membangun dimensi lain yang hadir tanpa terlihat karena berada di
balik makna literal dan atau di balik bentuk yang dipilih. Tuntutan-tuntutan
semacam itu tentu lebih longgar pada genre lain seperti prosa (cerita pendek
dan novel).
Selain puitis, élong maliung bettuanna juga memang kelihatan
rumit dan berlapis-lapis. Namun jika menemukan rumusnya, puisi ini tidak akan
serumit yang kita duga. Sungguh, alangkah pintar orang-orang Bugis (dulu)
menyembunyikan maksudnya di balik berlapis-lapis sarung.
Permainan Bahasa, Kunci Jawaban
SEPERTI telah kita lihat, élong maliung bettuanna mengandung dua atau tiga
pernyataan teka-teki. Jika kita telah menemukan rujukan yang ditunjuk oleh
frase-frase itu, kita akan segera menemukan makna puisi—tentu saja jika paham
bahasa dan aksara Bugis. Permainan basa to bakke’ memang menjadi kunci jawaban
dari teka-teki dalam sebuah élong maliung bettuanna. Permainan bahasa inilah
yang paling menarik dari jenis puisi ini, hal yang kemungkinan besar tak akan
ditemui dalam puisi lain.
Sesungguhnya, dalam élong maliung bettuanna ada pola-pola umum
permainan bahasa orang Bakke yang paling sering digunakan. Basa to Bakke
biasanya menggunakan tiga macam topik dalam frasenya; 1) yang berhubungan
dengan nama daerah atau tempat (geographical), 2) tentang tumbuh-tumbuhan (botanical),
dan 3) tentang binatang (zoological). Memang ada beberapa pengecualian, tetapi
ketiga topik itulah yang paling sering digunakan.
TERNYATA bahasa Bugis bisa menjadi permainan yang menarik.
Keunikan bahasa seperti itulah yang membuat puisi Bugis menjadi berbeda
dibandingkan jenis puisi lainnya. Meski élong maliung bettuanna tak lagi pernah
dipentaskan atau dituliskan, meliriknya kembali bisa menjadi alternatif.
Mengadopsi puisi Bugis ini bisa menjadi jawaban atas kejenuhan
banyak kritikus sastra yang menganggap puisi modern Indonesia terperangkap oleh
segelintir nama-nama besar, seperti Sapardi Djoko Damono, Suardji Calzum
Bachri, Goenawan Mohamad dan Afrizal Malna. Kekuatan élong maliung bettuanna
salah satunya adalah ketercapaian dan keseimbangan dua kekuatan, bentuk dan
isi—hal yang semakin susah ditemukan oleh penyair-penyair Indonesia
kontemporer. Tak banyak jenis puisi yang mampu mengawinkan bentuk dan isi
seperti yang diperlihatkan oleh élong maliung bettuanna.
Selain aturan bunyi (fonologi) dan makna (semantik) yang telah
dijelaskan di atas, sesungguhnya élong maliung bettuanna juga menarik untuk
dilihat dari segi matra. Élong maliung bettuanna ini memiliki aturan matra,
terdiri dari tiga baris dan tiap barisnya biasanya terdiri dari delapan, tujuh
atau enam suku kata. Puisi-puisi Bugis seperti dijelaskan dalam Tol (1992:83)
memiliki tiga jenis matra; pentasyllabic metre (seperti yang diperlihatkan
dalam La Galigo), octosyllabic metre (seperti dalam teks puisi-puisi naratif
Bugis) dan élong metre.
Meskipun memang rumit memahami genre ini, namun tetap terbuka
banyak pintu untuk masuk dan menikmati élong maliung bettuanna, salah satunya
melalui permainan bahasa. Permainan bahasa seperti Basa to Bakke’ yang telah
dijelaskan dalam tulisan ini mungkin pula akan membuat, khususnya orang-orang
Bugis, belajar dan mencintai kembali bahasa dan aksara Bugis. Selain tak
berminat pada sastra klasik, orang-orang juga mulai tak meminati bahasa
daerah.[]
Sumber >>>>>> http://www.ininnawa.org/article25.html
Referensi:
1. Fachruddin Ambo Enre, 1983, Ritumpanna Weelenrennge, telaah filologis sebuah
Episode Bugis klasik, Jakarta: Universitas Indonesia.
2. Kennedy, J.X, 1991. Literaure: an Introduction to Fiction, Poetry and Drama,
(Fifth Edition). New York: harper Collins Publisher.
3. Mattulada, 1985, Latoa; satu lukisan analitis terhadap antropologi politik
orang Bugis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
4. Muhammad Salim, 1969-71, Transliterasi dan Terjemahan elong Ugi (kajian
naskah Bugis), Ujung pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.
5. Muhammad Sikki, dkk, 1978, Terjemahan beberapa naskah lontara Bugis, Ujung
Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
6. Pelras, Christian, 2006, Manusia Bugis, Jakarta: Nalar.
7. Perrine, Laurence, 1974, Literatre: Structure, Sound and sense. (Second
Edition). New York: Harcourt Brace Javanovisch Inc.
8. Rahman Daeng Palallo, 1968, ‘Bahasa Bugis; Dari hal elong maliung bettuanna
(pantun jang dalam artinya)’, Bingkisan I.
9. Tol, Roger, 1992, ‘Fish Food on a Tree Branch; Hidden Meanings in Bugis
Poetry’, Leiden: Bijdragen tot de Taal-, land- en Volkenkunde 148 : 82-102.
Tulisan lebih lengkap mengenai ini juga pernah dimuat di
www.puisi.net dan www.panyingkul.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar