Minggu, 14 Oktober 2012

Biografi Chairil Anwar


Biografi Chairil Anwar (1922-1949)

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.
Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta.
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah 
buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”
Berikuy ini beberapa Goresan tinta Cairil Anwar :

PRAJURIT JAGA MALAM 

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
 
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
 
bermata tajam
 
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
 
kepastian
 
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
 
Aku suka pada mereka yang berani hidup
 
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
 
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
 
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
 

(1948)
 
Siasat,
 
Th III, No. 96
 
1949
 


MALAM
 

Mulai kelam
 
belum buntu malam
 
kami masih berjaga
 
--Thermopylae?-
 
- jagal tidak dikenal ? -
 
tapi nanti
 
sebelum siang membentang
 
kami sudah tenggelam hilang
 

Zaman Baru,
 
No. 11-12
 
20-30 Agustus 1957
 



KRAWANG-BEKASI
 

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
 
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
 
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
 
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
 
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
 
Kenang, kenanglah kami.
 

Kami sudah coba apa yang kami bisa
 
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
 

Kami cuma tulang-tulang berserakan
 
Tapi adalah kepunyaanmu
 
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
 

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
 
atau tidak untuk apa-apa,
 
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
 
Kaulah sekarang yang berkata
 

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
 
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
 

Kenang, kenanglah kami
 
Teruskan, teruskan jiwa kami
 
Menjaga Bung Karno
 
menjaga Bung Hatta
 
menjaga Bung Sjahrir
 

Kami sekarang mayat
 
Berikan kami arti
 
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
 

Kenang, kenanglah kami
 
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
 
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
 

(1948)
 
Brawidjaja,
 
Jilid 7, No 16,
 
1957
 


DIPONEGORO
 

Di masa pembangunan ini
 
tuan hidup kembali
 
Dan bara kagum menjadi api
 

Di depan sekali tuan menanti
 
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
 
Pedang di kanan, keris di kiri
 
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
 

MAJU
 

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
 
Kepercayaan tanda menyerbu.
 

Sekali berarti
 
Sudah itu mati.
 

MAJU
 

Bagimu Negeri
 
Menyediakan api.
 

Punah di atas menghamba
 
Binasa di atas ditindas
 
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
 
Jika hidup harus merasai
 



Maju
 
Serbu
 
Serang
 
Terjang
 

(Februari 1943)
 
Budaya,
 
Th III, No. 8
 
Agustus 1954
 



PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
 

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
 
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
 
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
 
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
 
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
 
Aku sekarang api aku sekarang laut
 

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
 
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
 
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
 

(1948)
 

Liberty,
 
Jilid 7, No 297,
 
1954

AKU 

Kalau sampai waktuku
 
'Ku mau tak seorang kan merayu
 
Tidak juga kau
 

Tak perlu sedu sedan itu
 

Aku ini binatang jalang
 
Dari kumpulannya terbuang
 

Biar peluru menembus kulitku
 
Aku tetap meradang menerjang
 

Luka dan bisa kubawa berlari
 
Berlari
 
Hingga hilang pedih peri
 

Dan aku akan lebih tidak perduli
 

Aku mau hidup seribu tahun lagi
 

Maret 1943


PENERIMAAN
 

Kalau kau mau kuterima kau kembali
 
Dengan sepenuh hati
 

Aku masih tetap sendiri
 

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
 
Bak kembang sari sudah terbagi
 

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
 

Kalau kau mau kuterima kembali
 
Untukku sendiri tapi
 

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
 

Maret 1943
 

HAMPA
 

kepada sri
 

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
 
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
 
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
 
Tak satu kuasa melepas-renggut
 
Segala menanti. Menanti. Menanti.
 
Sepi.
 
Tambah ini menanti jadi mencekik
 
Memberat-mencekung punda
 
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
 
Udara bertuba. Setan bertempik
 
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
 

DOA
 

kepada pemeluk teguh
 

Tuhanku
 
Dalam termangu
 
Aku masih menyebut namamu
 

Biar susah sungguh
 
mengingat Kau penuh seluruh
 

cayaMu panas suci
 
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
 

Tuhanku
 

aku hilang bentuk
 
remuk
 

Tuhanku
 

aku mengembara di negeri asing
 

Tuhanku
 
di pintuMu aku mengetuk
 
aku tidak bisa berpaling
 

13 November 1943

SAJAK PUTIH
 

Bersandar pada tari warna pelangi
 
Kau depanku bertudung sutra senja
 
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
 
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
 

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
 
Meriak muka air kolam jiwa
 
Dan dalam dadaku memerdu lagu
 
Menarik menari seluruh aku
 

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
 
Selama matamu bagiku menengadah
 
Selama kau darah mengalir dari luka
 
Antara kita Mati datang tidak membelah...
 

SENJA DI PELABUHAN KECIL
 
buat: Sri Ajati
 

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
 
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
 
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
 
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
 
menyinggung muram, desir hari lari berenang
 
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
 
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
 
menyisir semenanjung, masih pengap harap
 
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
 
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
 

1946

CINTAKU JAUH DI PULAU 

Cintaku jauh di pulau,
 
gadis manis, sekarang iseng sendiri
 

Perahu melancar, bulan memancar,
 
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
 
angin membantu, laut terang, tapi terasa
 
aku tidak 'kan sampai padanya.
 

Di air yang tenang, di angin mendayu,
 
di perasaan penghabisan segala melaju
 
Ajal bertakhta, sambil berkata:
 
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
 

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
 
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
 
Mengapa Ajal memanggil dulu
 
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
 

Manisku jauh di pulau,
 
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
 

1946

MALAM DI PEGUNUNGAN
 

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
 
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
 
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
 
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
 

1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
 

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
 
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
 
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
 

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
 

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
 
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
 
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
 

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
 

1949

DERAI DERAI CEMARA
 

cemara menderai sampai jauh
 
terasa hari akan jadi malam
 
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
 
dipukul angin yang terpendam
 

aku sekarang orangnya bisa tahan
 
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
 
tapi dulu memang ada suatu bahan
 
yang bukan dasar perhitungan kini
 

hidup hanya menunda kekalahan
 
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
 
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
 
sebelum pada akhirnya kita menyerah
 

1949
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar