Senin, 10 Desember 2012

Andika Mappasomba (Andhika Daeng Mamangka)


Jika ada penyair yang kadang menjuluki dirinya sendiri sebagaipenyair rombeng atau penghibur sastra keliling kampung maka inilah orangnya. Andhika Mappasomba, lebih sering disapa dengan nama Dhika. Lelaki berambut gondrong kelahiran Bulukumba 1980. Bekas bangku dalam kelas tempatnya duduk semasa SMP di Tanah Beru Bulukumba menjadi saksi awal perjalanan kepenyairan dari alumnus Universitas Islam Negeri di Makassar ini. Dhika sering ditemani oleh sebuah vespa butut yang diberi nama Aladin. Aktif dalam berbagai organisasi terutama organisasi yang mengepalkan tinju demi seni dan budaya. Yang penulis bisa lacak adalah bahwa dia tergabung dalam masyarakat Pencinta Seni Pertunjukan (Mata Sejuk) Indonesia dan sebagai direktur poros Tiga Institute Cultural Studies (p3i-CS Makassar). Pendengar RCA khususnya penggemar acara sastra Ekspresi selalu disiraminya dengan puisi. Dia satu-satunya penyair yang paling rajin membacakan sendiri puisi-puisinya di radiosetiap ada kesempatan menjadi bintang tamu di RCA.

Bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak dengan menerbitkan buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003). Sebuah buku kumpulan cerpen milik Anis dan kumpulan puisi milik Andhika. Buku selanjutnya Mawar dan Penjarayang keseluruhan isinya adalah sajak-sajaknya yang nyaris terbuang dan semoga saja memang tak akan pernah terbuang jika jadi terbit dalam tahun ini juga.

Andhika juga seorang blogger. Puisi-puisinya yang khas diletakkannya satu persatu di blog kelong pajaga tempat Dhika biasanya pulang beristirahat setelah lelah seharian menjelajahi alam, mengolah rasa, berdiskusi dengan manusia lainnya di alam terbuka ataupun ruang tertutup. Karakter khas puisi Andhika terletak pada kebiasaan-kebiasaan pengulangan metafora tapi dengan makna berbeda pada setiap puisi. Puisinya suka memotret perjalanan sekecil apapun.

Karya-karya Andika Mappasomba :

Bulukumba, Kota Sejuta Penyair

aku lahir di sini dari rahim ibu yang menua pada waktu tanah merah hitam yang menggumpal bekukan batang jagung dan batang padidan asin airnya mengalir dalam darahku bersama nyayian nyiur yang melambai-lambai pada garis pantainyamemanggil-manggil, menggema, memanjat batang kelor dalam sajak rindurindu pada negeri ibu, negeri sejuta nahkoda negeri sejuta panrita negeri sejuta nahkodabulukumba

walau
aku bertualang melangkah mendaki ke dalam belantara kehidupan
terbang ke langit ke lima menyusup ke dalam batas bumi
bertemu jawara-jawara yang menikam sukma
aku tak melupakan kokoh tiang pinisi menantang ombak sembilan samudera
aku tak melupakanmu negeriku, negeri sejuta nahkoda dan panrita,
negeri sejuta dongeng, negeri sejuta pau-pau, negeri sejuta budaya
kota sejuta penyair
bulukumba

walau
aku bertuaalang masuk ke dalam hidup menemui pengantinku di negeri jauh
lalu bercinta di batas lelah lunglai di puncak sepi
rindu tak pernah usai menyanyi dalam qalbu
memanggil-manggil pulang
memanggil-manggil pulang
melewati pematang sawah
menyusuri sungai, tepian pantai, lereng bukit
merenangi laut flores dan teluk bone
melintasi lompo battang
datang padamu bulukumba; meneguk airmu, mengupas jagungmu, menumbuk padimu,
memetik daun kelormu, mencubit daging tuing-tuing, loka-loka, lure, lajang,
yang kukulum bersama sayur kelor dan nasi kampo'do'

uh
najis rasanya pizza ayam goreng amerika
muntah rasanya makan sozzis dan conello cina
muntah rasanya minum minuman karbonat jepang
muntah rasanya makan gorengan dari minyak goreng malaysia

biarlah di kota sejuta penyair
kunikmati dendeng capi, poca'-poca', sanggara bambang, sarabba, lopisi, dumpi eja, kampalo, gogoso, baruasa, taripang, uhu'-uhu', cucuru dari minyak rakang

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota sejuta penyair

di sana kalian punya patung liberty
kami punya patung pinisi
di sana kalian punya pantai hawai dan bombai
kami punya pantai bira, dajo, lemo-lemo, batu tallasa, samboang, turungang beru, kajang kassi, kasuso, pantai ara, pantai merpati, dan leppe'
di sana kalian punya monte karlo
kami punya tebing lahongka
di sana kalin punya zamba, acapela, capuera
kami punya kelongpajaga, gandrang jong, dan mancak baruga
di sana kalian punya indian, aborigin, dan apache
kami punya kajang tana toa

kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota pelabuhan rindu, negeri ibu
KOTA SEJUTA PENYAIR
BULUKUMBA
Bulukumba, 19 Juli 2008


Jendela Kereta

26 Februari 2008
hujan baru saja tuntas membasuh kotamu
rumput, kembang dan pepohonan tampak sumringah
aku intip kotamu dari jendela kereta yang melaju
di langit, bulan samar memaksaku merapal namamu

kaulah seserpihan bulan kerinduanku
pada kenangan, pernah kutanamkan sajak tujuh tangkai bunga
yang tak pernah sempat kau tatap hingga purna di waktu lalu

malam itu, aku melintasi kotamu
mengintip rumput, kembang dan pepohonan putih
dari jendela kereta yang melaju
tapi, mungkin hujan melelapkanmu dengan sempurna
hingga hentak kakiku tak kau dengarkan di larut ini

malam itu, aku melintasi kotamu
lewat sebuah radio tua, berdendang lagi sebuah lagu
lagu yang liriknya aku dan kau pernah memahatnya
dan anak-anak memakinya sebagai lagu dari zaman batu
lagu persembahan pada arwah dalam ritual suci kematian

malam itu, aku melintasi kotamu
dari luar jendela, rumput, kembang dan pepohonan
semua nampak berduka menyaksikan tetesan air mataku
atas nama kenangan
aku menangis
Mks-Palopo, 25 Januari 2008

PENYAIR HIDUP MEMAKAN APA?
By: Andhika Daeng Mamangka

nelayan hidup dari jaring ikan
sopir hidup dari roda mobil
tukang becak hidup dari keringat
tukang ojek hidup dari motor
buruh hidup dari tulang
...

pagandrang hidup dari gendangnya
arsitek hidup dari gambarnya
tukang batu hidup dari sekop dan sendoknya
tukang kayu hidup dari pahat, palu dan gergaji

penyiar hidup dari mulut wajah, mata dan telinganya
wartawan hidup dengan pena nya
tukang cuci hidup dari kotoran
pencopet hidup dari keahliannya
perampok hidup dengan menukar nyawa
kapten, nahkoda dan awak hidup dari kapalnya

polisi tentara hidup dari senjatanya
jaksa hidup dari persoalannya
hakim hidup dari palunya
pelukis hidup dari kuas kanvasnya
pematung hidup dari patungannya
pemahat hidup dari pahatnya

guru hidup dari sekolahnya
pedagang hidup dari dagangannya
dokter hidup dari rasa sakit
perawat hidup dari si sakit
apoteker hidup dari penyakit
bidan hidup dari persalinan

politisi hidup dari lidahnya
Loper hidup dari koran yang bukan korannya

jika
semua telah jelas dalam keadilan, jalan rejeki dan kehidupan
lalu penyair yang memilih jalan sepi kehidupan, 
dia hidup dari mana?
dia hidup memakan siapa?
seniman hidup dari mana?

kadang kita begitu lupa, mendiamkan sebiji apel segar, membusuk di dalam laci, bahkan, setelah busuk pun, lalu ia ditelan makan. padahal kita tahu, apel segar selalu menawarkan aroma yang harum

seniman hidup dari pengabdiannya kepada sepi, kepada sedih, kepada akal hati, kepada perih, kepada benci, kepada berkendi-kendi air mata, kepada tawa, dari sisa maki.

setelah syairnya dibacakan, dibicarakan, didengarkan, kita lupa memberikan kehidupan untuknya. 
setelah sajaknya kita dengarkan dan kita terbahak-bahak menertawai diri sendiri, kita jadi lupa demi sebuah syair, mereka menelantarkan diri dalam kemiskinan. dan KEADAAN pura-pura, lupa memberikan amplop di saku kirinya, lalu dia pulang berjalan kaki, melintasi 5 kota di lima kabupaten.

pendegar syair itu sungguh tahu, dia mempercepat kematian si penyair. Lalu, 5 tahun setelahnya, masih dengan bahak yang sama, sipendengar syair tersenyum simpul berkata; boleh aku meminta 1 buku syairmu?

penyair berkata;
jika kau kuberi satu
penyair hidup memakan apa?

Bulukumba, 14 September 2012

Mantra Diri di Dalam Sepi

duhai langit yang banyak bersaksi
dan bulan yanng pemalu
kukirim seluruh jampi diri di dalam sesaji
menemui kekasih dalam sepi

walau tak dapat menyentuh pipi
tenanglah hati menjadi saksi
tentang dia yang dilanda rindu tak bertepi

langit menjaga cintaku di dalam hatinya
bulan  menjadi wakil diri, mengecup dia di sela mata
jampi hanya jembatan menemui diriku di dalam dirinya

dalam sepi aku menyimpan kekasih di dalam hati
dalam sepi kekasih, dia menyimpan rahasia di dalam dirinya

rahasia memaksa diri menjadi terjajah rasa sendiri

Bulukumba, 29 Nopember 2011


Lautan Diri

ombak tiga susun menggelora dalam samudera diri
angin mengabut pekat dalam lautan imaji
semesta menghitam
hujan turun dengan perkasa merobek waktu

ini marah, sudah di puncak pendam
maka terhunuslah alif lam mim

amuk dalam lautan diri
menjadi rahasia milik sendiri dan Rabbiku

Bulukumba, 29 November 2011

Gelegar

aku kira hanya petir yang paling dahsyat gelegarnya
ternyata
saat kau nyatakan cintamu padaku
adalah letusan yang tak kuasa kukira-kira

pingsan aku mendengarnya

proklamasi perasaan cintamu padaku
adalah gelegar yang membuat waktu terhenti sejenak

aku rasa, ini keliru
cinta tak diciptakan Tuhan untuk membunuh

Bulukumba, Nopember 2011





Bersama seribuan lebih penyair se-Kabupaten Bulukumba, Andhika mendeklarasikan Bulukumba Kota Penyair pada Maret 2009. Hingga postingan ini dibuat tinggal satu hal yang belum dideklarasikan oleh Dhika yakni menikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar