Jika ada penyair yang kadang menjuluki dirinya sendiri
sebagaipenyair rombeng atau penghibur sastra keliling kampung maka
inilah orangnya. Andhika Mappasomba, lebih sering disapa dengan nama Dhika.
Lelaki berambut gondrong kelahiran Bulukumba 1980. Bekas bangku dalam kelas
tempatnya duduk semasa SMP di Tanah Beru Bulukumba menjadi saksi awal
perjalanan kepenyairan dari alumnus Universitas Islam Negeri di Makassar ini.
Dhika sering ditemani oleh sebuah vespa butut yang diberi nama Aladin. Aktif
dalam berbagai organisasi terutama organisasi yang mengepalkan tinju demi seni
dan budaya. Yang penulis bisa lacak adalah bahwa dia tergabung dalam masyarakat
Pencinta Seni Pertunjukan (Mata Sejuk) Indonesia dan sebagai direktur poros
Tiga Institute Cultural Studies (p3i-CS Makassar). Pendengar RCA khususnya
penggemar acara sastra Ekspresi selalu disiraminya dengan puisi. Dia satu-satunya
penyair yang paling rajin membacakan sendiri puisi-puisinya di radiosetiap
ada kesempatan menjadi bintang tamu di RCA.
Bersama cerpenis Anis K. Al Asyari, dia pernah menggebrak dengan menerbitkan
buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa (2003). Sebuah buku kumpulan
cerpen milik Anis dan kumpulan puisi milik Andhika. Buku selanjutnya Mawar
dan Penjarayang keseluruhan isinya adalah sajak-sajaknya yang nyaris terbuang
dan semoga saja memang tak akan pernah terbuang jika jadi terbit dalam tahun
ini juga.
Andhika juga seorang blogger. Puisi-puisinya yang khas diletakkannya satu
persatu di blog kelong pajaga tempat
Dhika biasanya pulang beristirahat setelah lelah seharian menjelajahi alam,
mengolah rasa, berdiskusi dengan manusia lainnya di alam terbuka ataupun ruang
tertutup. Karakter khas puisi Andhika terletak pada kebiasaan-kebiasaan
pengulangan metafora tapi dengan makna berbeda pada setiap puisi. Puisinya suka
memotret perjalanan sekecil apapun.
Karya-karya Andika Mappasomba :
Bulukumba, Kota Sejuta Penyair
aku lahir di sini dari rahim ibu yang menua pada waktu tanah
merah hitam yang menggumpal bekukan batang jagung dan batang padidan asin
airnya mengalir dalam darahku bersama nyayian nyiur yang melambai-lambai
pada garis pantainyamemanggil-manggil, menggema, memanjat batang kelor dalam
sajak rindurindu pada negeri ibu, negeri sejuta nahkoda negeri sejuta
panrita negeri sejuta nahkodabulukumba
walau
aku bertualang melangkah mendaki ke dalam belantara kehidupan
terbang ke langit ke lima menyusup ke dalam batas bumi
bertemu jawara-jawara yang menikam sukma
aku tak melupakan kokoh tiang pinisi menantang ombak sembilan samudera
aku tak melupakanmu negeriku, negeri sejuta nahkoda dan panrita,
negeri sejuta dongeng, negeri sejuta pau-pau, negeri sejuta budaya
kota sejuta penyair
bulukumba
walau
aku bertuaalang masuk ke dalam hidup menemui pengantinku di negeri jauh
lalu bercinta di batas lelah lunglai di puncak sepi
rindu tak pernah usai menyanyi dalam qalbu
memanggil-manggil pulang
memanggil-manggil pulang
melewati pematang sawah
menyusuri sungai, tepian pantai, lereng bukit
merenangi laut flores dan teluk bone
melintasi lompo battang
datang padamu bulukumba; meneguk airmu, mengupas jagungmu, menumbuk padimu,
memetik daun kelormu, mencubit daging tuing-tuing, loka-loka, lure, lajang,
yang kukulum bersama sayur kelor dan nasi kampo'do'
uh
najis rasanya pizza ayam goreng amerika
muntah rasanya makan sozzis dan conello cina
muntah rasanya minum minuman karbonat jepang
muntah rasanya makan gorengan dari minyak goreng malaysia
biarlah di kota sejuta penyair
kunikmati dendeng capi, poca'-poca', sanggara bambang, sarabba, lopisi, dumpi eja, kampalo, gogoso, baruasa, taripang, uhu'-uhu', cucuru dari minyak rakang
kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota sejuta penyair
di sana kalian punya patung liberty
kami punya patung pinisi
di sana kalian punya pantai hawai dan bombai
kami punya pantai bira, dajo, lemo-lemo, batu tallasa, samboang, turungang beru, kajang kassi, kasuso, pantai ara, pantai merpati, dan leppe'
di sana kalian punya monte karlo
kami punya tebing lahongka
di sana kalin punya zamba, acapela, capuera
kami punya kelongpajaga, gandrang jong, dan mancak baruga
di sana kalian punya indian, aborigin, dan apache
kami punya kajang tana toa
kota ini, bulukumba, kota mendunia
kota pelabuhan rindu, negeri ibu
KOTA SEJUTA PENYAIR
BULUKUMBA
Bulukumba, 19 Juli 2008
Jendela Kereta
26 Februari 2008
hujan baru saja tuntas membasuh kotamu
rumput, kembang dan pepohonan tampak sumringah
aku intip kotamu dari jendela kereta yang melaju
di langit, bulan samar memaksaku merapal namamu
kaulah seserpihan bulan kerinduanku
pada kenangan, pernah kutanamkan sajak tujuh tangkai bunga
yang tak pernah sempat kau tatap hingga purna di waktu lalu
malam itu, aku melintasi kotamu
mengintip rumput, kembang dan pepohonan putih
dari jendela kereta yang melaju
tapi, mungkin hujan melelapkanmu dengan sempurna
hingga hentak kakiku tak kau dengarkan di larut ini
malam itu, aku melintasi kotamu
lewat sebuah radio tua, berdendang lagi sebuah lagu
lagu yang liriknya aku dan kau pernah memahatnya
dan anak-anak memakinya sebagai lagu dari zaman batu
lagu persembahan pada arwah dalam ritual suci kematian
malam itu, aku melintasi kotamu
dari luar jendela, rumput, kembang dan pepohonan
semua nampak berduka menyaksikan tetesan air mataku
atas nama kenangan
aku menangis
rumput, kembang dan pepohonan tampak sumringah
aku intip kotamu dari jendela kereta yang melaju
di langit, bulan samar memaksaku merapal namamu
kaulah seserpihan bulan kerinduanku
pada kenangan, pernah kutanamkan sajak tujuh tangkai bunga
yang tak pernah sempat kau tatap hingga purna di waktu lalu
malam itu, aku melintasi kotamu
mengintip rumput, kembang dan pepohonan putih
dari jendela kereta yang melaju
tapi, mungkin hujan melelapkanmu dengan sempurna
hingga hentak kakiku tak kau dengarkan di larut ini
malam itu, aku melintasi kotamu
lewat sebuah radio tua, berdendang lagi sebuah lagu
lagu yang liriknya aku dan kau pernah memahatnya
dan anak-anak memakinya sebagai lagu dari zaman batu
lagu persembahan pada arwah dalam ritual suci kematian
malam itu, aku melintasi kotamu
dari luar jendela, rumput, kembang dan pepohonan
semua nampak berduka menyaksikan tetesan air mataku
atas nama kenangan
aku menangis
Mks-Palopo, 25 Januari 2008
PENYAIR HIDUP MEMAKAN APA?
By: Andhika Daeng Mamangka
nelayan hidup dari jaring ikan
sopir hidup dari roda mobil
tukang becak hidup dari keringat
tukang ojek hidup dari motor
buruh hidup dari tulang
...
pagandrang hidup dari gendangnya
arsitek hidup dari gambarnya
tukang batu hidup dari sekop dan sendoknya
tukang kayu hidup dari pahat, palu dan gergaji
penyiar hidup dari mulut wajah, mata dan telinganya
wartawan hidup dengan pena nya
tukang cuci hidup dari kotoran
pencopet hidup dari keahliannya
perampok hidup dengan menukar nyawa
kapten, nahkoda dan awak hidup dari kapalnya
polisi tentara hidup dari senjatanya
jaksa hidup dari persoalannya
hakim hidup dari palunya
pelukis hidup dari kuas kanvasnya
pematung hidup dari patungannya
pemahat hidup dari pahatnya
guru hidup dari sekolahnya
pedagang hidup dari dagangannya
dokter hidup dari rasa sakit
perawat hidup dari si sakit
apoteker hidup dari penyakit
bidan hidup dari persalinan
politisi hidup dari lidahnya
Loper hidup dari koran yang bukan korannya
jika
semua telah jelas dalam keadilan, jalan rejeki dan kehidupan
lalu penyair yang memilih jalan sepi kehidupan,
dia hidup dari mana?
dia hidup memakan siapa?
seniman hidup dari mana?
kadang kita begitu lupa, mendiamkan sebiji apel segar, membusuk di dalam laci,
bahkan, setelah busuk pun, lalu ia ditelan makan. padahal kita tahu, apel segar
selalu menawarkan aroma yang harum
seniman hidup dari pengabdiannya kepada sepi, kepada sedih, kepada akal hati,
kepada perih, kepada benci, kepada berkendi-kendi air mata, kepada tawa, dari
sisa maki.
setelah syairnya dibacakan, dibicarakan, didengarkan, kita lupa memberikan
kehidupan untuknya.
setelah sajaknya kita dengarkan dan kita terbahak-bahak menertawai diri
sendiri, kita jadi lupa demi sebuah syair, mereka menelantarkan diri dalam
kemiskinan. dan KEADAAN pura-pura, lupa memberikan amplop di saku kirinya, lalu
dia pulang berjalan kaki, melintasi 5 kota di lima kabupaten.
pendegar syair itu sungguh tahu, dia mempercepat kematian si penyair. Lalu, 5
tahun setelahnya, masih dengan bahak yang sama, sipendengar syair tersenyum
simpul berkata; boleh aku meminta 1 buku syairmu?
penyair berkata;
jika kau kuberi satu
penyair hidup memakan apa?
Bulukumba, 14 September 2012
Mantra Diri di Dalam Sepi
duhai langit yang banyak bersaksi
dan bulan yanng pemalu
kukirim seluruh jampi diri di dalam sesaji
menemui kekasih dalam sepi
walau tak dapat menyentuh pipi
tenanglah hati menjadi saksi
tentang dia yang dilanda rindu tak bertepi
langit menjaga cintaku di dalam hatinya
bulan menjadi wakil diri, mengecup dia di sela mata
jampi hanya jembatan menemui diriku di dalam dirinya
dalam sepi aku menyimpan kekasih di dalam hati
dalam sepi kekasih, dia menyimpan rahasia di dalam dirinya
rahasia memaksa diri menjadi terjajah rasa sendiri
Bulukumba, 29 Nopember 2011
Lautan Diri
ombak tiga susun menggelora dalam samudera diri
angin mengabut pekat dalam lautan imaji
semesta menghitam
hujan turun dengan perkasa merobek waktu
ini marah, sudah di puncak pendam
maka terhunuslah alif lam mim
amuk dalam lautan diri
menjadi rahasia milik sendiri dan Rabbiku
Bulukumba, 29 November 2011
Gelegar
aku kira hanya petir yang paling dahsyat gelegarnya
ternyata
saat kau nyatakan cintamu padaku
adalah letusan yang tak kuasa kukira-kira
pingsan aku mendengarnya
proklamasi perasaan cintamu padaku
adalah gelegar yang membuat waktu terhenti sejenak
aku rasa, ini keliru
cinta tak diciptakan Tuhan untuk membunuh
Bulukumba, Nopember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar