Minggu, 09 Desember 2012

PANANRANG (Lontara’ Bugis; Berkaitan Siklus Iklim dalam Pertanian)


Bahasa, Kesusastraan dan Kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis Purba) adalah suatu obyek penelitian yang cukup menarik untuk kajian subyek ilmu, akan tetapi publikasi tentang bahasa, kesusastraan dan kebudayaan tersebut sampai sekarang masih terlantar. (Mattulada: 1975)

Masyarakat Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang majmuk dan hetrogen, seperti juga sebagaian propinsi lain di Indonesia. Kemajmukan ini ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social yang bedasarkan suku, agama, adat-istiadat dan budaya serta daerah geografis. Disamping itu, secara vertical struktur masyarakatnya juga ditandai oleh adanya pelapisan social.(Koentjaraningrat, 1992: 4) 
Masyarakat atau suku yang beragam itu, tumbuh menurut sistem nilai budaya atau aturan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut, tertulis maupun yang tidak tertulis
Tradisi tulis di Sulawesi Selatan dimulai jauh sebelum masuknya Agama Islam di daerah ini. Naskah-naskah kuno pada umumnya menuturkan berbagai kisah yang sama sekali tidak menyinggung tentang Islam ataupun ajarannya. Hal ini membuktikan bahwa naskah tersebut ditulis sebelum abad XVII. 
Bahkan naskah-naskah Lontara’ Bugis (aksara
Lontara’) yang ditulis pada abad XIII atau XIV M. dalam pengkisahannnya terungkap nama Majapahit dalam ceritanya. (Tim Penyusun Catalog, 1994: 1)
Tradisi tulis bagi Suku Makassar sebelum mengenal akasara lontara’, telah mengenal aksara Jangan-Jangan yang sering dipergunakan dalam lingkup Istana dan para pemangku adat. Akasara Jangan-Jangan ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan aksara Kawi. Salah satu bukti kuat yang perna ditemukan pada penggalian reruntuhan Benteng Somba Opu yang didirikan oleh Raja Gowa IX I Manguntungi Daeng Matanre Karaeng Tumaparisi Kallonna dengan ditemukannya sebuah batu bata yang bertuliskan aksara Jangan-Jangan. oleh para ahli diperkirakan penggunaannya sekitar abad IX. Sedangkan aksara Lontara’ yang dipergunakan di Sulawesi Selatan sampai sekarang sangat erat kaitannnya dengan aksara Kaganga (Sumatra).
Tradisi tulis atau naskah-naskah klasik di Sulawesi Selatan (Suku Bugis, Makassar termasuk Mandar), pada awal penulisannnya mempergunakan media daun lontar kemudian disalin atau ditulis ke dalam media kertas, yang memuat berbagai kearifan local dan nilai-nilai tradisi masyarakat. Naskah-naskah tersebut dianggap sebagai milik bersama karena ia bertumbuh dari suatu keasadaran kolektif yang kuat dari masa silam dan mencakup berbagai aspek kehidupan.
Memasuki alam pernaskahan di Sulawesi Selatan bagaikan memasuki hutan belantara didalamnya terdapat mutiara bertatakan zamrud, semakin kedalam semakin terkuak akan kekayaan yang tak ternilai. Naskah-naskah tersebut memuat berbagai macam disiplin ilmu, mulai dari filsafat, astronomi, ekonomi, filsafat, pertanian, hukum, tasawuf, dan sebagainya.
Naskah-naskah klasik di Sulawesi Selatan, menurut jenis dan isinya dapat dikategorikan antara lain Lontara’ Patturiolong/ade’ (memuat tentang aturan-aturan hukum dalam hubungan sosial kemasyarakatan), Lontara’ Pabbura (memuat tentang ramuan-ramuan obat/obat-obatan), Lontara’ Bilang (memuat tentang catatan harian/agenda peristiwa pwnting dalam kerajaan), Pappaseng (memuat tentang pesan-pesan/nasehat orang-orang bijak), Kutika (memuat tentang waktu/hari yang baik dan buruk atau tentang nasib dan peruntungan), dan Lontara’ Laongruma/Pananrang (memuat tentang tata cara bercocok tanam, iklim dan curah hujan). (H.Johan Nyompa, 1986: 4)
Keberadaan naskah-naskah klasik tersebut, secara fisik sebagian masih dibisa ditelusuri, meskipun sangat memprihatingkan baik dari bahan maupun dari segi perlakuan terhadap naskahnya, akan tetapi pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat masih sangat besar, terutama naskah-naskah yang berhubungan dengan tata cara bercocok tanam (Pananrang).
Kabupaten Soppeng sebagai salah satu lumbung padi dan penghasil padi kwalitas terbaik di Sulawesi Selatan, Masyarakat petani di daerah ini masih menjadikan Pananrang atau Lontara’ Laongruma sebagai pedoman dalam bercocok tanam bahkan dalam kehidupannya sehari-hari.

Pananrang disingkat PNR atau biasa disebut Lontara’ Laongruma adalah naskah yang memuat tentang tata cara bercocok tanam, perubahan iklim, siklus musim tanam, baik tanaman palawija maupun tanaman padi. Naskah ini juga memuat tentang prakiraan serangan hama tanaman bila ditanam pada waktu tertentu dalam bulan-bulan tertentu, dan bahkan juga dapat diprediksi musim-musim wabah penyakit (sai =Bugis).

PNR naskahnya jamak (tidak tunggal), masing-masing daerah kabupaten yang didiami suku Bugis mempunyai Pananrang sendiri, bahkan dibeberapa kampung atau rumpung keluarga mempunyai pananrang tersendiri yang diwarisinya secara turun temurun dan menjadi pedoman dalam mengelola dan menggarap lahan pertaniannya.
Salah satu naskah PNR yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat di Lajjoa(salah satu kampung yang berada dalam wilayah Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan), yang menjadi kajian penulis dari 5 (lima) buah naskah panarang yang menjadi bandingan.

Naskah PNR ini, berbahasa Bugis dengan aksara Lontara’, berukuran 15 x 21 dengan tebal 22 halaman, setiap halaman terdiri atas 14-15 baris, yang bersampul karton tebal dijilid benang, lengkap dan sangat jelas, dan tidak ada penulis atau penyalinnnya. Naskah PNR diwarisi secara turun temurun dalam keluarga, dan tersimpang dengan baik oleh pemiliknya, naskah yang dibaca hanya naskah salinan.
Naskah PNR ini, tidak ada mukaddimah langsung pada isi naskah yaitu: 

Ompona Muharram = Terbitnya bulan muharram.
Apabila terbitnya bulan muharram jatuh pada:
  1. Hari Sabtu; maka musim dingin akan panjang, panen padi melimpah ruah, dan tentram kerajaan.
  2. Hari Ahad; musim sangat dingin terutama yang tinggal dibantaran sungai, serta buah-buahan melipah ruah.
  3. Hari Senin; wabah penyakit meraja lela, banyak orang yang meninggal, kurang curah hujannnya, banyak orang yang melahirkan anaknya laki-laki, terjadi keresahan atau kesusahan dalam kampong.
  4. Hari Selasa; tidak ada hasil pada musim timur, banyak curah hujan dan petirnya, banyak orang yang sakit akan tetapi tidak sampai meninggal.
  5. Hari Rabu; musim dinginnya kurang, mudah mencari reseki.
  6. Hari Kamis; tidak ada hasil pada musim timur, banyak orang yang melahirkan dan buah-buahan melipah.
  7. Hari Jumat; para pedagang bakal meraup keuntungan besar, bahkan semua orang meskipun yang lemah juga tetap ada reskinya, hasil panen juga melimpah, serta buah-buahan juga melimpah.
Disamping itu pada pembahasan selanjutnya dijelaskan tentang terbitnya bulan dari penanggalan satu sampai tiga puluh :

  1. Tanggal 1;Esso annyaranngi; tidak baik untuk merantau, baik untuk urusan pemerintahan, hari kelahiran Adam
  2. Tanggal 2 ; Esso jongai asenna; baik untuk perkawinan, baik untuk jualan, hari kelahiran Hawa
  3. Tanggal 3 ; Esso sikui asenna; tidak baik untuk semua jenis pekerjaan,
  4. Tanggal 4 ; Esso meongngi asennna; baik untuk membangun rumah, pernikahan
  5. Tanggal 5 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan tidak baik, tenggelamnya nabi Nuh
  6. Tanggal 6 ; Esso tedongngi asenna; baik untuk pembelian kerbau, tidak baik untuk merantau, dan membeli pakaian
  7. Tanggal 7 ; Esso balawoi asennna; bila beutang tidak dapat diabayar
  8. Tanggal 8 ; Esso Banua alipengngi asennna; baik untuk bepergian, pernikahan.
  9. Tanggal 9 ; Esso nagai asenna; bagus untuk bepergian
  10. Tanggal 10 ; Esso nagai asenna; baik untuk meratau, mendirikan rumah, menanam
  11. Tanggal 11 ; Esso macangngi asenna; hari masuknya surga Nabi Adam, baik untuk kembali ke pantai
  12. Tanggal 12 ; Esso macangngi asenna; baik untuk jaual-jualan
  13. Tanggal 13 ; Esso gajai asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.
  14. Tanggal 14 ; Esso pulandoi asenna; baik untuk semua pekerjaan keculai merantau
  15. Tanggal 15 ; Esso balei asenna; baik untuk membuat perahu
  16. Tanggal 16 ; Esso bawi asenna; baik untuk menanam dan tidak dengan yang lainnya
  17. Tanggal 17 ; Esso jarikaniai asenna; baik untuk semua pekerjaan termasuk merantau, melamar, menghadap Raja.
  18. Tanggal 18 ; Esso balipengngi asenna; baik untuk merantau, pernikahan, mendirikan rumah, dan menanam.
  19. Tanggal 19 ; Esso lawenngi asenna; bagus untuk melamar
  20. Tanggal 20 ; Esso ala-alai asenna; baik untuk melamar orang akan senang menerima kedatangan kita.
  21. Tanggal 21 ; Esso nahase; kurang kebaikannnya
  22. Tanggal 22 ; Esso assiuddaningeng asenna; baik untuk merantau, mendirikan rumah, pernikahan, dan menanam
  23. Tanggal 23 ; Esso ilesso’I asenna; baik untuk merantau, menanam, pernikahan, dan tidak baik untuk yang lain.
  24. Tanggal 24 ; Esso pariai asenna; kurang kebaikan
  25. Tanggal 25 ; Esso Pasessoroa asenna; kurang kebaikan
  26. Tanggal 26 ; Esso suniai asenna; baik untuk merantau,menanam, kalau berutang akan cepat dibayar, baik untuk nelayang
  27. Tanggal 27 ; Esso ulai asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar
  28. Tanggal 28 ; Esso Alapung asenna; semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar
  29. Tanggal 29 ; Esso itii asenna; tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan.
  30. Tanggal 30 ; Esso nanu’ asennna; baik untuk menebang kayu, tidak dimakan rayap, kalau ada anak yang lahir akan murah reskinya.
Dan pada halaman terakhir termuat kutika (prakiraan bila seseorang akan bepergian atau hendak melaksanakan hajatan), maka waktu-waktu tertentu dalam setiap harinya harus dipelajari. Dalam naskah PNR ini setiap hari mulai jumat sampai kamis dibagi kedalam lima waktu yaitu pagi, antara pagi dan tengah hari (abbue-bueng), tengah hari, lewat tengan hari, dan sore hari. Masing-masing waktu tersebut.

Khasanah naskah klasik Bugis-Makassar yang jumlahnya sangat banyak, memerlukan perhatian yang serius bukan hanya dari pelestarian benda materialnya akan tetapi perlu pengkajian yang mendalam dari aspek contens kandungan maknanya, karena naskah-naskah tersebut sangat terkait dengan berbagai disiplin ilmu seperti sastra, filsafat, hukum, ekonomi, astronomi, falak, pertanian, dan bidang keagamaan. Apa yang disinyalir oleh Cak Nur bahwa jumlah naskah “kita” yang besar itu, bukan hanya ratusan ribu, bahkan jutaan dalam berbagai bidang keilmuan, pasti didukung oleh jumlah ilmuan yang besar pula. Di Sulawesi Selatan dikenal nama-nama separti Kajao Laliddong (Bone), La To Baja (Soppeng), Nenek Mallomo (Sidrap), Ammana Gappa (Sidrap), Syekh Yusuf al-Makassari (Gowa) dan masih banyak lagi yang lainnnya.

Bahwa tradisi penyalinan naskah-naskah di Sulawesi Selatan dari waktu kewaktu, dilakukan oleh murid-murid untuk kepentingan belajar, maupun dilakukan oleh “tukang-tukang salin” atau dikenal dengan sebutan “Pallontara’”untuk kepentingan pribadi, komersial dan pemerintahan. Disetiap kerajaan local terdapat jabatan yang disebut “juru tulisi” yang bertugas sebagai pencatat peristiwa penting atau keputusan raja, baik masalah pemerintahan dalam Lontara’ Bilang, maupun masalah social dan pertanian dalam “Pananrang”. Jabatan juru tulisi kini telah tiada, yang ada hanyalah Pallontara
itupun jumlahnya sangat sedikit dan berkarya dan menulis bidang-bidang tertentu, untuk kepentingan pribadi dan keluarga saja.

Bahwa naskah PNR mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalah kehidupan masyarakat Soppeng, karena masih diyakini mempunyai manfaat yang sangat besar dalam siklus iklim pertanian.

Bahwa penelitian naskah di Sulawesi Selatan masih banyak hal-hal khusus yang belum terjangkau untuk dipaparkan sebagai temuan penelitian, seperti masalah kepemimpinan, kedudukan wanita, pendidikan anak, perekonomian, perbintangan, pelayaran, obat-obatan dan sebagainya. Hal-hal khusus itu sangat unik dan spesifik disebutkan dalam naskah. Dengan demikian naskah lontara’ Bugis- Makassar tetap menarik perhatian para peneliti untuk menjadikannnya sebagai obyek penelitian dari berbagai pendekatan.

Bahwa naskah-naskah klasik direkomendasikan untuk dijadikan obyek telaah dan kajian dari dua sisi; sisi pertama, naskah dikaji dengan pendekatan filologi untuk pengembangan ilmu-ilmu lain yang terkait, seperti ilmu-ilmu social, antropologi dan ilmu agama islam; dan sisi kedua naskah dikaji dengan meletakkannya sebagai fenomena sejarah, sosial dan budaya masyarakat Bugis-Makassar, untuk menemukan jati dirinya sebagai warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua pendekatan ujung-ujungnya bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sesuai, metode dan prosedurnya sangat bermanfaat untuk dijadikan model pengambilan kebijakan di bidang pendidikan demokrasi, moral, hak azasi manusia dan pengukuhan persatuan yang berwawasan kebangsaan.

Wallahu a’lam bi sawab




1 komentar: