Rabu, 05 Desember 2012

Budaya Ammatoa Kajang Yang Unik


Budaya Ammatoa Kajang Yang Unik – Suku Ammatoa di Kajang memang menyimpan begitu banyak cerita bagi setiap pengunjungnya. keberadaannya yang cukup jauh dari kota membuat masyarakatnya masih menganut sistem tradisional baik dari segi ritual keagamaan ataupun sosial kehidupannya.

Etnis Amma Toa berada di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba. Letaknya kurang lebih 40 km sebelah timur Kota Bulukumba. Keunikan budayanya sudah terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia. Keunikan ini pula yang membuat Kajang tiap tahunnya dibanjiri wisatawan mancanegara.


Orang Ammatoa betul-betul memegang teguh kitab lontara itu. Pasang ri Kajang menyimpan pesan-pesan luhur. Yakni, penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya.



Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini.


Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.
Suku Kajang dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Dalam bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku kajang.
Salah satu model rumah yang berada dalam kawasan adat Ammatoa modelnya tampak pada gambar diatas, kehidupan yang begitu sederhana, jika masuk ke dalam rumah hal yang pertama dilihat adalah dapur, rumah model ini tidak memiliki teras atau beranda dan di dalamya tidak memiliki kamar tidur. Rumah Adat Suku Kajang bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masayarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya
Bukan hanya itu segi pakaian pun cukup berbeda yang dikenakan oleh orang asli Ammatoa yang keseluruhannya berwarna hitam seperti terlihat pada foto disamping
Pakaian Khas yang biasa dikenakan oleh Laki-Laki, penutup kepala disebut Passapu dan sarung yang biasa juga disebut Tope Lelleng (sarung hitam)
Pakaian Khas yang biasa dikenakan oleh kaum perempuan yang smuanya juga berwarna hitam.
Begitu banyak Kebudayaan yang dimiliki oleh Masyarakat Bugis Makassar sudah sepantasnya lah kita melestarikan kebudayaan tersebut. Suku Kajang salah satu dari sekian banyaknya budaya nusantara yang masih kental akan adat istiadatnya
BULUKAMBA - Waktu masih menunjukkan sekira pukul 05.00 Wita, namun ratusan warga berpakaian serba hitam memasuki benteng yang merupakan tanah adat suku  Ammatoa Kajang, di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Baju serba hitam itu merupakan ciri khas suku Ammatoa Kajang yang dinekanakan laki maupun perempuan. Dinginnya udara subuh, seakan tak dirasa. Di tangan mereka nampak sesajian berupa dedaunan yang sudah dikemas.

Ritual Pattasi Jera atau membersihkan makam di kawasan tanah adat merupakan prosesi wajib yang rutin dilaksanakan suku ini setiap tahunnya. Ritual ini sudah dilaksanakan turun-temurun sejak ratusan tahun silam, sejak Ammatoa pertama di Kajang. Acara ini dilakukan untuk menghargai dan mendoakan para arwah nenek moyang, maupun keluarganya yang dikubur di tempat itu.

Seluruh keluarga suku Ammatoa Kajang wajib menjalani ritual ini, baik mereka yang bermukim di luar Bulukumba, seperti Sinjai, Makassar, dan lainnya. Di kawasan Benteng ini terdapat makam Ammatoa Kajang, Bohe Tomi. Di sekeliling makam Ammatoa terdapat ribuan kuburan dengan nisan terbuat dari batu kali yang dijajar apik.



Luas kawasan pemakaman tersebut sekira dua hektare. Uniknya, kawasan ini banyak ditumbuhi tumbuhan liar dan pohon bambu, sehingga suasananya seperti di dalam hutan.

Prosesi ritual Pattasi Jera' dibuka langsung oleh Ammatoa Kajang serta seluruh pemangku adat Tanah Toa. Setelah itu baru dilakukan oleh suku lainnya. Kuburan yang wajib diziarahi atau dibersihkan terlebih dahulu adalah kuburan Ammatoa pertama, kemudian menyusul makam para pemangku adat serta makam masyarakat lainnya yang ada di dalam kawasan tersebut.

"Pattasi Jere' wajib dilakukan, karena ini rangkaian dari ajaran dari Ammatoa Kajang terdahulu yang kemudian diturunkan kepada suku lainnya di tanah adat," kata juru makam, Puang Bate (53), Selasa (29/5/2012).

Tokoh Masyarakat Suku Kajang, Hasanuddin, mengatakan ritual Pattasi Jera sudah dilaksanakan turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Prosesi ini sebagai rangkaian ajang patuntung yang selama ini masih dipegang teguh masyarakat Kajang meski tidak bermukim lagi di kawasan tanah adat.

Seluruh masyarakat Kajang yang bermukim di kawasan tanah adat, sambungnya, memfokuskan diri melaksanakan ritual yang dilangsungkan selama satu hari.

"Seluruh aktivitas wajib dihentikan karena ini bagian dari ajang turun-temurun nenek moyang kita," ujarnya.

Menurut seorang pemuda Kajang, Asdar, budaya ini harus dilestarikan oleh seluruh masyarakat Kajang. Sebagian masyarakat Kajang saat ini sudah modern sehingga sangat gampang melupakan budaya yang harus tetap dilestarikan.

"Seiring terkikisnya tatanan budaya, saya harapkan kepada para generasi muda Kajang harus bersatu memertahankan budaya yang sudah mulai terkontaminasi oleh budaya modern," harapnya.

1 komentar: